six

2.6K 534 43
                                    

[Giandra]




"Lo jangan keras-keras dong, Gi. Kasian anak-anak pada kaget. Perlu penyesuaian, nggak mungkin bisa berubah seperti yang lo mau dalam kurun waktu tiga hari," protes Tristan padaku.

"Keras apanya, Tris? Biasa aja," kataku sambil mengiringi langkahnya menuju coffee shop yang terletak di salah satu sisi lantai dasar gedung tempatku bekerja kini.

"Gue dapat keluhan dari anak-anakㅡ"

"Dari siapa? William?" potongku.

Tristan mengangkat salah satu bahunya. "Salah satunya," jawabnya gamblang.

Aku terkekeh dan melangkah menuju kasir terlebih dahulu. Tristan duduk di salah satu kursi paling dekat luar. Dasar lelaki pesolek! Hobinya tebar pesona!

"What you want, Dude?!" tanyaku pada Tristan tanpa membalas salam yang diucapkan oleh pegawai bernama Nia di depanku.

"Biasa, Gi," sahut sohibku itu.

Ah, ya, percuma saja aku bertanya padanya. Sudah pasti dia akan menjawab pertanyaanku tadi dengan minuman bayinya. Kutatap datar perempuan di depanku sembari berkata, "Caffe Latte dan English Tea. No sugar, please."

Setelah memesan dan membayar nominal yang disebutkan Nia dengan dua lembar uang seratus ribuan, aku pun meninggalkan meja kasir.

"Kak, ini kembaliannya...."

Aku mengangkat tangan kananku dan berkata, "Tip," dengan pelan.

Nia tersenyum lebar sembari membalas dengan, "Terima kasih, Kak."

Kemudian aku kembali menghampiri Tristan yang sibuk dengan smartphonenya. Memutar bola matanya ketika aku menggeser kursi di hadapannya.

"Tip?" decihnya.

Aku mengangkat alis kiriku. "Anggap sedekah."

"Sedekah? Sejak kapan lo jadi dermawan?" sindir Tristan.

Duh! Ada apa dengan pria ini? Kalau tidak salah mengenal, sahabatku ini adalah laki-laki tulen. Tetapi mengapa hari ini ia terdengar seperti Mama? Atau seperti adikku, Gianna yang sedang dalam masa menstruasi dan tidak bisa mengontrol emosi?

"Sejak sepuluh detik yang lalu," jawabku asal.

Tristan terkekeh. Matanya masih terfokus pada layar ponselnya. "Atau sejak lo kejebak dalam lift itu?"

Hmm... Tahu darimana Tristan anak tunggalnya Frans Handoyo ini? Bukannya dia mangkir kerja selama dua hari sejak kakeknya opname? Ternyata ACT dimana pun sama saja. Tidak di Berlin ataupun Jakarta, tidak ada bedanya. Gosip dan berita terpanas cepat sekali menyebar. Terutama tentang pejabat perusahaan. Contohnya diriku. Ah, aku sudah terbiasa menjadi bahan gosip oleh para pegawai. Tidak perlu kaget, Giandra. Kamu sudah terbiasa dengan hal seperti ini, bukan?

"Kalau nggak salah dengar, kejebaknya sama cewek. Am I right?"

Aku tertawa sejenak sembari merapikan pakaianku. "Ya begitulah... Setidaknya gue nggak terlalu bosan dalam lift. Ada yang nemenin, ada yang menghibur."

Mendengar jawabanku, Tristan menghentikan aktifitasnya. Dia nampak sedikit antusias.

"Menghibur? Memangnya cewek yang nemenin lo itu bening? Perasaan di ACT nggak ada yang menarik deh."

Pfffft!

Aku menahan tawa agar tidak meledak di depan wajah sohibku itu. Sekarang masih di lingkungan kerja. Aku tidak ingin merusak image yang kubangun sejak awal masuk bekerja beberapa hari lalu karena pertanyaan konyol Tristan. Not now. Not today.

LOVATTETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang