MCBF 28

1.3K 130 6
                                    

Permintaan

"Berapa lama menyembunyikannya, akan tetap terungkap sebuah kebenaran, kapan pun waktunya."


"Pa, lihat tangan Naya luka. Enggak jelas kenapa." Penuturan gadis yang kini tengah mengotak-atik ponselnya di ruang keluarga, membuat pria separuh baya itu mengalihkan perhatiannya.

"Naya, tanganmu kenapa?" Akhirnya Marko bertanya, setelah melirik telapak tangan putrinya yang memang sudah diplester. Meski lukanya hanya sedikit, tetapi sangat terlihat kalau itu menyakitkan.

"Em ...." Naya yang menjadi sasaran empuk dari pertanyaan papanya, berusaha berpikir untuk mencari alasan. "Kena kembang api, yang kecil gitu, Pa."

Naya menjawab ragu, seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Mencoba mengulur waktu untuk berpikir bagaimana cara menjawab pertanyaan sang Papa tanpa dicurigai.

"Loh, memang kamu main kembang api di sekolah?" Marko heran, putrinya terlihat gugup dan kebingungan.

"Biasa. Paling anak cupu itu ... si Jos itu kali yang ngajakin," sela Agata membuat papanya semakin khawatir.

"Enggak, kok, Pa. Di jalan aku ketemu anak kecil yang lagi main kembang api. Karena anak kecilnya takut, aku yang pegang, malah kena sendiri." Sungguh, Naya ingin sekali berteriak. Kesal, gadis itu menyadari jika dia menjadi sangat sering berbohong pada orang, dan kini papanya. Naya merasa akan dicap sebagai pembohong, dan ini semua karena Gais. Jika saja dia tidak berurusan dengan pemuda dingin itu, dia tidak akan berbohong sebanyak ini dalam satu hari, pikirnya.

"Lain kali hati-hati sayang." Marko mengusap kepala putrinya. Dia sadar, begitu berharga dua putrinya, meski Marko tidak dapat menjaga sepenuhnya. Sosok Ibu untuk mereka tidak ada sejak keduanya masih bayi, membuat Marko sadar betul, mereka tidak mendapat perhatian seperti anak lain dari seorang Ibu. Lebih-lebih, didikannya yang keras karena pernah menjadi anggota TNI.

Wanita paruh baya datang tergopoh-gopoh, kemudian berucap, "Maaf, Pak. Di luar ada tamu, nyari Mbak Naya."

"Siapa?" tanya Marko penasaran. Seperti biasa, lelaki pensiunan militer itu sangat tegas dalam mengatur anak-anaknya. Protektif berlaku untuk kedua putrinya.

"Cogan, Pak." Jawaban asisten rumah tangga tersebut membuat gadis berambut pirang mendecak.

Agata lalu mencela, " Sok gaul si Bibi."

Bi Ida hanya tersenyum geli, kemudian menyambung, "Maksudnya Mas Gaiska yang ganteng."

Namun, detik berikutnya, gadis berambut pirang itu memekik, "Mungkin mau les malam sama aku."

"Mbak Agata tadi enggak dengerin saya ngomong, ya? Mas ganteng yang di luar nyari Mbak Naya, bukan Mbak Agata," jelas Bi Ida yang langsung mendapat wajah kesal dari anak majikannya itu.

Laki-laki tinggi itu menatap putrinya yang manis, tersenyum mengangguk, tanda mengizinkan. "Kamu boleh temui Gais. Tapi ... kalau dia macam-macam, bilang sama Papa."

Agata heran, mengapa papanya begitu mudah mengizinkan ketika menyangkut Gaiska.

"Iya, Pa." Dengan berat, Naya melangkah keluar, walau sebenarnya dia juga tidak ingin menemui pemuda itu untuk saat ini. Namun, jika tidak menemuinya, dia takut Agata ataupun papanya akan curiga. Sampai di luar, dia dapat melihat punggung Gais yang tengah berdiri di samping motor ninjanya.

"Ga." Suara Naya terdengar lirih, meski masih sanggup didengar.

Hening, keduanya menjadi canggung untuk bicara. Bahkan, Gais saja kesulitan untuk membuka obrolan dengan Naya setelah kejadian di atap sekolah.

My Coolkas Boyfriend | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang