PERTANYAAN UNTUK AYAHKU
Setelah beberapa saat, Bik Ira kembali bicara, “Anu tuan muda...”
“Bik?” Suara Ibuku membuatku refleks melesat kembali ke lantai kamarku.
Aku mengintip dari jendela kamarku, Ibuku terlihat menghampiri Bik Ira. Dan aku sedikit mendengar pembicaraannya dari kejauhan.
“Bik Ira bicara dengan siapa?”
“Tuan Muda nyonya?” kata bik Ira.
“Nando sedang study tour, jadi sejak kapan dia kembali?”
Bik Ira yang tidak menyadari kepergianku tadi, kini nampak kebingungan untuk menjawab apa.
Aku masih mengiingat ketika dulu aku masih sering bertanya lalu melesat tanpa disadari wanita bongsor itu, dan ia selalu saja nampak kebingungan seperti itu.
Dan saat ini, Bik Ira nampak sedang menerka-nerka keberadaanku, ia melirik ke sekitar seolah ia akan melihatku lagi. Hingga ia memandang ke plafon kamarku, dan matanya menangkapku. Ibukupun hendak melirik ke arahku, namun aku lebih dahulu menyembunyikan wajahku.
"Jangan sampai Ibuku melihatku."
-o0o-
Aku turun menuju ke lantai satu, di mana rumah yang besar ini berpusat. Dari tangga ini saja, hampir setengah dari seluruh yang berada di ruangan di lantai bawah dapat kupantau.
Ketika aku menuruni tangga yang berbentuk S ke lantai bawah, kulihat seorang lelaki berambut lurus dan berhidung pesek, yang lebih tinggi dariku tengah menonton TV di ruang keluarga. Lelaki yang dikira tampan oleh orang-orang yang baru mengenalku namun belum pernah melihatnya. Iya, dia adalah Ayahku. Ayah yang selalu kuragukan. Jika saja tidak ada Ibuku, maka aku tidak akan pernah percaya jika ia adalah Ayahku.
“Hei jagoan!” serunya ketika menyadariku menghampirinya, dan ia selalu terkejut bila melihatku, seolah melihat permata yang bersinar terang.
“Ibumu bilang kamu sedang study tour!”
Aku terus melangkah mendekatinya, ia terlihat menungguku berbicara. Begitu tiba di sisinya, ia mendekapku dengan satu lengannya, ia merangkulku di sampingnya.
Lalu aku mulai bicara, “Sejak kapan Ayah kembali?”
“Tadi malam, bagaimana kamu bisa berada di rumah?”
“Nando pulang setelah tertidur.”
“Oh iya, Ayah terlalu lelah, mungkin karena itu Ayah tidak menyadari kedatanganmu. Oh iya, Ayah punya sesuatu untukmu, tunggu sebentar,” katanya lalu bangkit dari duduknya, kemudian pergi ke kamar yang tidak jauh dari ruang keluarga, dan pintu kamar itu berada di samping TV.
Sesaat kemudian Ibuku datang dengan secangkir kopi. Dan Ibuku menampakkan ekspresi yang tidak jauh berbeda dari Ekspresi Ayahku tadi. “Sejak kapan kamu pulang?”
“Tadi malam, Ibu.”
“Ayah kamu di mana?”
“Itu di kamar,” jawabku.
Setelah meletakkan secangkir kopi di meja, Ibuku duduk di sebelah kananku, lalu merangkulku. “Aku telah mendapat kabar dari sekolahmu, kalau ada sesuatu yang telah terrjadi dengan kelompok tourmu. Apa tidak ada hal yang buruk terjadi padamu?”
Sudah kuduga, tatapan cemas itu pasti memburuku. Apalagi jika Ibuku akan mengetahui hal yang tsebenarnya. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk tidak berkata jujur. “Salah satu guruku mati karena jatuh ke dal jurang, Ibu.”
“Ooh... Syukurlah jika tidak ada hal buruk yang terjadi denganmu. Ibumu menyayangi jantungnya, jadi jangan biarkan jantung Ibumu copot,” kata Ibuku sambil menyeringai dan terus membelaiku.
“Ini untukmu,” kata Ayah yang datang dengan membawa sebuah jaket jeans, berkuncung kain wol tebal di tangannya. Dapat kuduga, itu pasti Jaket mahal. Ayah selalu saja membawakanku barang-barang mahal jika ia telah pulang dari perjalanan jauh, padahal jaketku telah sangat banyak di lemariku. Dan itulah yang membuatku sangat menyayanginya, meskipun ketampananku telah membuat perbandingan perbedaan 360° di antara kami.
“Dicoba,” katanya.
Akupun meraih jaket itu, kemudian mengenakannya. Ukurannya sangat pas, Ayahku benar-benar sangat memahami ukuran dan seleraku.
“Waahh putraku terlihat sangat tampan,” ujar Ayahku.
“Putraku juga dong,” ujar Ibuku juga.
"Iya putra kita,” ujar Ayahku lagi.
"Nah, begitu dong,” kata Ibuku lagi.
Kau tahu apa yang kurasakan saat ini? Aku bahagia! Dan bagiku mereka adalah orangtuaku. Ibu kandungku, Ayah kandungku, dan bukan orang lain, bukan pula yang di dalam mimpiku.
-o0o-
Matahari terasa siang memendarkan cahaya cerahnya yang terik di atas tanah perkotaan. Berbagai kendaraan melintasi jalan taman restoran. Beberapa orang keluar masuk di salah satu restoran yang kududuki, mereka seolah bersahutan dengan ruangan. Beberapa Tourist terlihat memesan, beberapa lagi hanya tertawa lepas, namun siapa yang peduli. Akupun tak memedulikan itu. Karena saat ini aku dan Ibuku sedang mendengarkan penuturan Ayahku tentang pengalaman kerjanya di Australia. “...Mister Marley masih membutuhkan pemasok kopi.”
"Sepertinya Ayah harus berkunjung ke Aimere untuk mencarikannya bahan mentah.” Ibuku melepas fokusnya dari santapan di hadapannya.
“Aku tidak menyuplay kopi,” jawab Ayahku sambil memotong puncake di hadapannya dengan pisau potong dan garpu di tangannya.
“Itu bisa menambah pemasukan kita,” suara Ibuku sedikit meninggi.
Ayahku hanya memandang Ibuku dengan kening berkedut, sejenak mereka hanya bertatapan tanpa suara. Ruangan seolah sepi, dan aku hanya diam memandangi adegan itu. Ketika mereka memandangku, suasana kembali pecah.
“Oh iya maaf nak,” kata Ibuku, “Aku memang cerewet dari dulu.”
“Aku tidak akan punya istri jika Ibumu tidak cerewet,” ujar Ayahku.
Kami terkekeh bersama sambil melanjutkan fokus pada sarapan, aku tidak terlalu banyak memesan. Hanya satu porsi makanan ringan dan segelas jus strowberry.
“Apakah aku boleh bertanya, Ayah?” aku menahan kunyahanku sambil menunggun jawaban dari Ayahku.
Ayahku dan Ibuku bertatapan sejenak sebelum Ayahku mengiyakan. “Boleh.”
FREEZE
Jangan lupa lanjutannya iya guys ;-)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Destinable of Light
FantasySebagai manusia setengah siluman yang dibesarkan di alam manusia, ada dua hal yang melilit kehidupan Nando: Pertama, berada di alam manusia tanpa direndahkan namun harus mempertaruhkan hidupnya setiap waktu. Kedua, berada di alam Tumaya tanpa mengha...