ALAM TUMAYA
Setelah menjelaskan semuanya di ruang pertemuan Gen Biru, ayah membawaku melewati beberapa istana kecil dengan mengendarai kabut. Semua istana kecil itu diselubungi kabut berwarna merah. Ada beberapa makhluk berwujud manusia kekar namun berkepala harimau yang terlihat berjaga di depan gerbang istana yang pertama kami lewati. Dua orang di depan pintu gerbang memegang trisula, dan sisanya menyilangkan satu pedang di depan dadanya.
“Istana ini dihuni oleh Abraka, putra dari Lensana Merah,” kata Ayah ketika kami melewati istana itu. “Istana ini dibuat untuk penjagaan gudang senjata tempur.”
Di samping istana itu ada sebuah bangunan yang cukup luas. “Apa ini gudangnya?”
“Benar,” jawab ayah.
Ayah melanjutkan ke istana kedua dan ketiga yang diantaranya terdapat gudang yang mirip istana emas namun tidak berpintu.
“Istana kedua dan ketiga dihuni oleh Lindra dan Harda,” ayah menjelaskan sambil melihat bentuk kedua istana yang tidak berbeda dengan istana yang pertama, begitu juga penjaganya.
“Kedua istana ini untuk penjagaan gudang Permata Seribu.”
“Permata seribu?” tanyaku.
Ayah berhenti sebentar dan kami mengambang di depan gudang emas tak berpintu itu.
“Itu adalah permata yang menjaga keseimbangan pulau ini, jika permata itu tidak ada. Maka semua bangunan di Tumaya akan berjatuhan.”
“Bagaimana cara membuka pintu itu?”
“Pintu itu hanya bisa dibuka oleh penjaganya, karena Ketiga Lensana telah membuat segel yang hanya bisa dibuka oleh mereka,” kata ayah.
Kemudian kabut membawa kami menuju ke istana terakhir. “Ini adalah istana yang dihuni oleh Retra,” kata ayah.
“Jin Hal merah?” tanyaku.
“Jin Hal Merah ditugaskan untuk menjaga ketiga bangunan penting di alam tumaya,” lelaki itu menghampiri sebuah bangunan yang sangat besar di samping istana itu, sementara aku terus mengikutinya. “Ini adalah Laboratorium penelitian, semua tekhnologi terbaik di Alam tumaya dikembangkan di sini.” Kami turun di depan gerbang istana itu.
"Hormat kami tuan Lensana dan tuan Pangeran!" Makhluk-makhluk aneh yang berjaga memberi hormat kepada kami, sebelum membukakan pintu gerbang yang berukuran lima kali lebih tinggi dariku dan lebarnya kuperkirakan lima meter lebih.
Ayah membawaku memasuki gedung itu untuk memperhatikan seluruh isi di dalam ruangannya. Ruangan gedung itu lebih cocok dianggap Museum sebenarnya, karena di dalam gedung itu terdapat begitu banyak hewan raksasa yang terkurung dengan akuarium. Ada banyak makhluk sejenis manusia berkepala tikus yang terlihat sedang bekerja seperti peneliti, beberapa berkepala elang memandu mereka. Dan semuanya berjas laboratorium. Semuanya terlihat hormat pada ayahku. Salah satu peneliti berkepala elang itu menyambut ayah dengan baik.
“Sudah lama Lensana Biru tidak mengunjungi Laboratorium ini,” sapanya. “Aku sedang membawa putra bungsuku berjalan-jalan agar ia bisa mengenali seluk beluk Alam Tumaya,” kata ayah. Ia terlihat berwibawa di hadapan makhluk-makhluk itu.
“Ow!” makhluk-makhluk itu nampak terkejut. “Wajahnya mirip sekali Lensana Biru.”
“Hormat kami tuan muda!” makhluk-makhluk itu membungkuk hormat serentak.
Aku tidak tahu bagaimana harus bersikap di hadapan makhluk-makhluk seperti mereka, jadi kuputuskan untuk tersenyum saja.
-o0o-
Begitu keluar dari Laboratorium yang berisi banyak hal yang belum pernah kulihat di dunia nyata, ayah membawaku melihat istana-istana Jin Hal Hijau. Ada empat istana yang mengambang dan tidak berbeda jauh di empat penjuru mata angin.
“Istana barat dihuni oleh Rostan, Istana selatan dihuni oleh Alora satu-satunya gadis dari bangsa Jin Hal, istana timur dihuni oleh Aresta, dan istana utara dihuni oleh Handana,” kata ayahku.
Ukuran istana-istana itu semuanya sama. Keadaannya pun hampir tak memiliki perbedaan, sama-sama diselubungi kabut hijau, sama-sama memiliki manusia yang berotot namun berkepala srigala sebagai penjaga, sama-sama memiliki burung pelatuk raksasa yang terus mengitar di atas bangunan. Itulah yang membedakan istana Jin Hal Merah dengan istana Jin Hal Hijau.
Selain itu, ayah bercerita sedikit tentang tugas Jin Hal Hijau. “Mereka bertugas menjaga serangan dari laut sekaligus penjaga pintu masuk ke alam Tumaya.”
“Apa tidak pernah ada manusia yang datang ke tempat ini?” tanyaku.
“Selama ini belum pernah,” ayah menatap lurus. “Putra-putri Lensana Hijau akan membuat lautan menjadi pusaran besar untuk membuat manusia menghindar dan berpikir tempat ini tidak ada.” Ayah terlihat memikirkan sesuatu juga sambil menjelaskan. “Selain itu, pandangan manusia juga terhalang oleh kekuatan ghaib dari permata seribu, tempat ini seperti tak kasat mata.”
Ternyata permata itu memiliki peranan yang sangat besar dalam kontribusi alam Tumaya. Aku ingin melihatnya, tapi aku tidak perlu melihatnya sekarang, karena aku yakin jika suatu saat Ayah atau orang lain pasti akan menunjukkannya padaku.
-o0o-
Selain melihat-lihat bangunan-bangunan megah di atas udara, ayah juga menunjukkan perkebunan di bawah Tumaya. Terdapat berbagai macam buah-buahan yang dirawat dan dijaga peri hutan. Peri-peri itu terlihat ceria memetik buah dan menempatkannya dalam
keranjang. Perkebunan dibatasi hingga ke sebuah lembah yang dilebati pohon-pohon yang besar dan rapat. Tempat itu terlihat seperti hutan belantara dari kejauhan.Di bawahnya terdapat puluhan air terjun yang indah. Ada begitu banyak gadis cantik yang bermain di air terjun itu, mereka terlihat gembira. Aku tak menyangka akan ada orang yang balas menatapku dari dasar sungai, jantungku tersentak ketika kulihat dua remaja yang duduk di atas batu di tengah sungai. Mereka mengenakan sutra merah muda berkilauan. Rambut hitam mereka melayang-layang bebas di sekitar bahu sementara kupu-kupu mengitari, mereka tersenyum dan melambaikan tangannya kepadaku dari kejauhan.
“Mereka adalah siluman, jangan sampai tergoda,” ayah mengingatkan.
“Bukankah kita juga siluman?” tanyaku tiba-tiba.
FREEZE
KAMU SEDANG MEMBACA
The Destinable of Light
FantasySebagai manusia setengah siluman yang dibesarkan di alam manusia, ada dua hal yang melilit kehidupan Nando: Pertama, berada di alam manusia tanpa direndahkan namun harus mempertaruhkan hidupnya setiap waktu. Kedua, berada di alam Tumaya tanpa mengha...