2.Hampa

612 40 0
                                    

Ruang tamu ndalem terasa lengang, namun atmosfer keresahan terasa sangat pekat memenuhi setiap sudutnya, Faris segera melangkah, ia sudah tidak memikirkan apa pun lagi selain keadan Haris.
" Haris,,,,,"
Suara Umik bergetar menahan sembilu kekhawatiran yang menancap hebat di hatinya, kang-kang mendudukkan Haris di samping Umik, lalu segera beranjak meminta diri, Umik segera membebalkan handuk kering ke tubuh Haris yang menggigil,

"Haris tidak apa-apa mik, Cuma kedinginan,,,"

Bisik Haris serak hampir tak terdengar, kekhawatiran anak itu mulai melanda, ia sangat tau setelah ini Abah tidak akan membiarkan Faris baik-baik saja. Dan seperti sebelum-sebelumnya, Abah segera menatap Faris tajam, ruang tamu kembali lengang, menyisakan suara rintik hujan yang seolah tertawa menang,

"Sudah berapa kali Abah memperingatkan mu is,,,,!!!"

Suara Abah menggema berat, seolah terdapat ribuan ton kegelisahan yang membebani intonasinya.
Faris segera menundukkan kepalanya dalam-dalam, suara itu selalu sukses membuat hatinya runtuh. Di sisi lain Haris semakin terlihat khawatir, dan kekhawatirannya pun terbukti,

"Harus berapa kali lagi Abah memperingatkanmu,,,!!!???"

Tanya Abah dengan intonasi semakin keras namun tetap tertahan. Haris semakin merasa bersalah, matanya nanar menatap Faris yang tertunduk di sudut ruang tengah dengan baju basah kuyup yang metes membasahi lantai,

"Bah,,, Haris yang memaksa ikut,,,,!!! Haris yang salah, maaf kan Haris ",

Dengan bibir birunya yang bergetar kedinginan Haris mencoba memadamkan api kemarahan Abah yang menyorot tegas kearah Faris, dan setidaknya untuk sejenak sorot mata Abah beralih menatap Haris,

"Mik,,, bawalah Haris kekamar, ia harus segera mengganti pakaiannya"

Kata Abah setelah terdiam cukup lama, sekilas pandangannya kembali menatap Faris dengan sorot yang masih sama, Umik masih mematung menatap khawatir anaknya yang lain,

"Baahh,,,,,!!Biar Faris juga mengganti pakaianya dulu,,,!!" Suara Umik mengingatkan lembut,

"Biar mik,,,!! sudah saatnya dia mengerti bahwa semua tanggung jawab memiliki konsekuensi" Jawab Abah tegas, membuat langkah Umik yang tertahan segera beranjak membawa Haris masuk kekamar,

"Bukankah Abah sudah melarang mu,,,??!!" Suara Abah kembali memenuhi ruangan,

"Bukankah kamu juga sudah tau kalau adik mu itu sakit,,,,?? Lalu mengapa kamu terus saja membahayakannya,,??"
Abah mengusap wajahnya resah, hatinya gundah menahan sembilu kepadihan, tak lagi tau apa yang harus dilakukan untuk membuat anak lanangnya mengerti,

" Umurmu sudah tiga belas tahun Le, sudah tidak seharusnya kamu berulah dan bermain-main lagi, iqro',,, iqro',,, iqro',,, bacalah,,,,bacalah,,,bacalah,,!! bacalah keadaan di sekitar mu dan bertindaklah dengan tepat, sudah saatnya kamu mengerti, dan sudah saatnya kamu ikut membantu Abah dan Umik menjaga Haris, juga ngopeni para santri "

"menjaga Haris,,,? Bukankah Abah dan Umik sudah sangat menjaganya dengan baik,"

Batin anak laki-laki berusia 13 tahun itu pilu. Bibir Abah terkatup, hanya rasa yang ingin beliau utarakan kepada anak lanangnya yang semakin tertunduk, seolah meratapi keheningan dan kepedihan yang perlahan mengilu, mempersilahkan kesunyian untuk menggores luka anak bapak itu semakin dalam.

" Kembalilah kekamar,,, murojaah hafalan imritimu,, semuanya,, 254 bet dan renungkan kesalahan mu, Abah berharap kali ini kamu benar-benar bisa mengerti," Kata Abah dingin tanpa intonasi, nafas anak laki-laki itu naik turu menahan gumpalan-gumpalan rasa yang merangsek sesak di dalam dadanya, langkahnya kecewa meninggalkan ruang tamu dengan bajunya yang masih basah kuyup, seolah tempat terpojok dan tergelap dirumah inipun tak akan sudi mendengar namanya, Haris,, Haris,,Haris,,, mengapa semuanya selalu tentang dia, bahkan hewan-hewan peliharaan di belakang ndalempun dibeli hanya untuk Haris, termasuk kolam kecil yang melengkapi taman mawar di samping rumah, juga rumah kayu kecil di tengah-tengahnya, semuanya di buat karena Haris, TV besar di ruang tengah, cendela besar dan mainan-mainan itu, semua tentang Haris, tentangnya hanyalah kenakalan yang ia perbuat dan setumpuk kewajiban yang semakin menggunung seiring bertambahnya umur, belajar, murojaah hafalan Qur'an, setora al-fiyah, sekolah diniah dan seambrek kewajiban yang sangat menjemukan. Di luar itu, mereka tidak akan menanyakan apapun, misal, dari mana kamu hari ini,,? sudah makan atau belum,,,? main apa kamu hari ini,,,? mainmu seru atau tidak,,,? apa kamu bertengkar dengan temanmu,,,? atau mau makan apa kamu hari ini,,,? apa kamu menginginkan sesuatu,,,? semuaa itu adalah pertanyaan tabu yang ingin ia dengar untuknya, sekali kali untuknya, hanya untuknya, bukan untuk Haris, selalu untuk Haris, namanya hanya akan mengekor dibelakang nama Haris, itupun jika mereka mengingatnya. Faris menutup pintu kamarnya kasar, suara debuman dari tabrakan keras itu terdengar sepilu hatinya, anak laki-laki itu terduduk di belakang pintu, terisak, memeluk lutut dinginnya dengan segumpal rasa memuakkan yang selalu berusaha ia kalahkan.

Follow akun Watepaad autor agar dapat terus mengikuti perkembangan terkini karya-karya Maznia UlfA

Embun Padang PasirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang