12. Selimut Kelabu

326 13 0
                                    


Pagi yang sangat pekat dengan embun yang selalu membumbung di setiap sudut pegunungan Tambi. Faris melepas songkok putihnya. Beranjak, mengganti baju kokonya dengan kaus putih tipis yang ia dobel dengan suwiter biru muda dan celana model chino. Langkahnya bergeser santai ke kamar mandi, sejenak menekuri wajahnya dan mengambil pencukur elektrik. Laki-laki itu menatap wajahnya yang sayu, lalu kembali meletakkan pencukur elekrtiknya galau. Ia sedang tidak dalam keadaan baik hari ini. Laki-laki itu keluar, menyibakkan tirai keemasan di depannya yang memperlihatkan kaca hitam besar. Seulas ekspresi takjub sejenak terlihat di wajah Faris. Kaca riben hitam itu ternyata menyimpan pemandangan alam yang sangat eksotis. Pedesaan hijau dengan embun-embun yang masih membumbung tinggi. Pemandangan eksotis pedesaan lereng gunung yang selama ini luput dari penglihatannya.

      Laki-laki itu terdiam cukup lama, menikmati mahakarya yang tak akan bisa ia lihat untuk kedua kalinya, karena keindahan lukisan Tuhan selalu memiliki coret unik yang berbeda di setiap kehadirannya. 

" Indah,, "

Gumamnya lirih. Sekilas Faris kembali menatap keindahan pemandangan lereng gunung Tambi, sebelum kakinya benar-benar melangkah menuruni tangga. Ia harus mengurai keruetan hatinya. Sorot kesedihan itu benar-benar mengganggunya, setidaknya ia harus membuat bunga lembayung itu merasa lebih baik.

       Mata Faris menyapu ruang tamu villa. Ruang terluas di bangunan itu seolah mati, membatu, hening dan kaku, sama sekali tak tersentuh. Faris terus melangkah menuju dapur, sesekali laki-laki itu mengalihkan perhatiannya ke layar ponsel yang baru saja ia nyalakan, mengetik beberapa pesan di Emailnya,

" Berikan data-data terperinci mengenai Aisyah, "

Faris segera menekan tombo sand, mengirimkannya pada Karim. Ponselnya bergetar. Beberapa Email segera masuk ketika ia mengaktifkan data selulernya. Faris memang sengaja mematikan koneksi internetnya sejak semalam. Beberapa Email dari kolega bisnis, beberapa info dari Kemal, update terkini dari Mustafa, laporan dari Gong yoo dan tidak pernah absen, delapan email dari sekertarisnya. Sekertaris berkacamata itu memang tidak pernah lelah untuk mengingatkannya. Tidak hanya berkaitan dengan masalah bisnis, bahkan masalah terkecilpun takakan luput dari perhatia sekertaris berkacamata itu. Faris membuka satu Email dari Reza

Pak Faris,, saya sudah mengisi setok kaus kaki di laci almari pesawat pribadi anda, maaf membut anda tidak mengganti kaus kaki kemarin, ( Reza@... ),

Faris mengerutka dahinya, tersenyum geli dengan tingkah sohibya. Reza benar-benar  tidak akan lupa dengan masalah sekecil apapuadahal seabrek masalah kantor sudah memenuhi kepalanya setiap hari. Reza memang orang yang sangat teliti dengan detail tersecil sekalipun, karena itu keuangan perusahaan tidak pernah bocor. Dan lebih dari itu, Mustafa telah memilih dengan teliti orang-orang yang bekerja dengan Faris. Mustafa tidak akan membiarkan orang yang tidak berprinsip dan tidak kopeten berada di sekitar Faris. Mustafa adalah mata-mata dan agen informasi pasar modal profesional yang bekerja sebagai bayangan Faris, atau bisa di katakan otak ke dua Faris. Ia bekerja sebagai penyempurna dan pengamat aktif yang bertanggungjawab memastikan semua pekerjaan Faris selalu selesai dengan sempurna. Karna pekerjaan dan tanggungjawab Faris sangatlah berjubun dan berat, maka otomatis ia tidak dapat menjalankannya dengan optimal, karena itu menjadi tanggungjawab Mustafa untik mengoreksi dan menyempurnakannya.

    Faris masih fokus dengan email-email di ponselnya. Beberapa langkah dari meja makan matanya melirik isi deret mangkuk yang hampir memenuhi meja. Langkah laki-laki itu kembali mendekati meja yang baru saja ia lewati. Mencomot satu tempe kemul dari sana. Rasa-rasanya ia sudah sangat lama tidak makan makanan khas Indonesia, dan sepertinya semuanya akan terbayar lunas hari ini. Meja besar itu dipenuhi makanan khas Indonesia, mulai dari opor, asem-asem daging sapi, dendeng gepuk, oseng-oseng pindang, sambel panggang, bandeng presto, ayam panggangdan, oseng cumi, satu toples penuhkrupuk puli kesukaannya dan masih banyak lagi, semua masakan itu membuat lapar di perut laki-laki itu semakin melilit. Suara sibuk di dapur mengalihkan perhatiannya. Laki-laki itu beranjak,

"Masak apa mbok,,,,??" tanya Faris sembari duduk di kursi bar yang berada tepat di meja panjang yang sekaligus menjadi pembatas antara dapur dan ruang makan. Wanita tua yang sedang berkonsentrasi dengan adonan didepannya itu terkesiap kaget,

"Haduh deeen,,, bikin kager mbok aja lo,,,!!!!"
 
Senyum tanggung Faris terukir. Seulas senyum kering yang dirindukan oleh semua orang yang menyayanginya, termasuk wanita tua yang tangannya kembali lincah mencincang bumbu didepannya,

"Mbok masaknya banyak sekali, memangnya embok mau mengundang makan siapa,,,??" Mbok Siti menatap mata Faris tak mengerti,

"Mbok ndak mau undang siapa-siapa,,,!! " Kilah mbok Siti.

"Memanga aden mau mngundang tamu makan di sini,,,?"  Tanya mbok Siti tidak mengerti, membuat Faris tersenyum geli,

"tidak,,,,, tapi mbok masaknya banyak sekali, saya kira mbok akan menggundang beberapa orang" Mbok Siti kembali mengalihkan pandagannya dari adonan, menata mata Faris dengan mata kriputnya yang mulai buram termakan oleh usia.

"Aden kan jarang kesini, jarang makan masakan embok, jadi,,,, mumpung aden disini, mbok masakin yang buuaaanyak, biar pulang dari sini aden gemukan"

Faris kembali tersenyum, lalu segera memasang mimik memohon,

"Mbok tolong buatkan arabika jawa ya,,!!" Minta Faris, tak lagi menggoda wanita sepuh itu.

"Ya,,, mbok buatin, tapi nanti setelah sarapan,,!!. Sekarang, aden sarapan dulu, entar masakan mbok keburu dingin, " Faris terdiam sejanak, memasang wajah tak trima

"Ok,,,!! Tapi saya tidak nafsu makan kalau tidak ada temannya. Mbok mau menemani saya,,,?? Saya juga akan memanggil pak Joko,,,!"

Mbok Siti terdiam, berusaha mencerna kata-kata adennya yang terasa begitu cepat.

"Oke,, saya panggil pak Joko sebentar,, mbok cucitangan, dan siapkan tiga piring,, "

Tanpa menunggu jawaban dari mbok Siti Faris beranjak, tidak memedulkan mbok Siti yang bertiak-triak menolak di belakangnya.


Embun Padang PasirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang