Nama gue Sandra, anak sulung dan anak Jogja. Sudah lama gue menetap di kota istimewa ini, dengan keinginan buat balik ke kampung halaman di Palembang yang masih menghantui. Ini berawal dari gue lulus SD.
Waktu itu gue lagi main dadu sama Ibu, beliau adalah otak matematika pertama di keluarga kami. Gue bisa baca nulis ngitung juga ajaran siapa lagi kalau bukan beliau, salut. Tiba-tiba Ibu menatap gue dan bilang:
"Pengen masuk SMP mana?" Gue cuman kedip kedip, dengan nem standar gini—karena di Jogja itu tingkat sekolah bisa diukur dari nem, istilahnya: sekolah favorit—gue bisa masuk mana?
"Balik ke kampung aja kali ya bu?" Gue memberanikan diri buat mengucap kata itu, kalo boleh jujur; gue emang udah lama rindu sama Papa, dan setelah lulus SD harapan gue adalah pulang kampung.
"Banyak orang yang datang ke Jogja untuk sekolah, kamu yang asli Jogja malah mau 'pulang kampung'?"
Karena kalimat dari Ibu barusan, semalaman gue nggakbisa tidur, pikiran gue melayang layang; membayangkan sekolah di Palembang dan tinggal bareng Papa.[]
"Bangun?"
Gue mengusap rambut dan langsung duduk, memastikan kalo itu suara Ibu. Gue selalu takut kalau ternyata itu bukan suara Ibu, khawatir kalau ternyata 'dipanggil' —astaughfirullah—
"Hari ini kita coba ke kota ya?" Lanjut Ibu setelah memastikan bahwa aku sudah bisa diajak bicara
"Iyadeh"
Dengan sedikit malas, gue mandi dan bersiap pake outfit survey ke calon sekolah.
Gue menghitung setiap kemungkinan selama gue dijalan nanti; browsing sekolah favorit, pilih 2 prioritas, daftar.
Ibu naik motor tanpa bicara, gue juga diem aja; emang kayak ginilah kita.
Ibu ngesen ke kiri, beloknya juga hamdalah sesuai tanda. Lalu berhenti di depan sekolah negeri "SMPN 3 SLEMAN"
Gue berkali-kali ngelihat ke arah papan sekolah nya, perasaan tadi ngajak ke kota.
"Nyoba kesini dulu ya?" Ibu mulai buka suara, tapi menatap gue dengan ragu
"Jangan deh, nggak naksir" kata gue berusaha meyakinkan nyokap kalau sekolah ini bukan tujuan gue
"Ambil formulir dulu?"
Karena gue yakin kalo Ibu nggakbakalan mau ngalah sama pilihannya, gue mengiyakan tawaran dia dengan banding setelah ambil formulir langsung pergi dari sekolah ini.
Setelah itu gue dan Ibu berangkat lagi, kembali sama sama diam.
"Itu SMP nya" gue buka mulut, ibu tetep aja diem. Tapi berbelok ke arah yang gue acungin tadi.
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Manusia 1/2 Setengah
Teen Fictionmendefinisikan sandwich generation di tengah-tengah hustle culture