Bisa di bilang tahun ini menjadi tahun terberat bagiku, aku sedang berada di kelas Bahasa Indonesia, menyelesaikan tugas dari Bu Lora, dia meminta kami untuk membaca buku karya Pidi Baiq yang judulnya "Dia adalah Dilanku tahun 1990" untuk di ulas. aku memperhatikan Rio yang terlihat dari wajahnya, tampak kesal dengan bukunya.
aku melempar kertas bertuliskan "???" kepadanya,
dia melempar balik kertas itu,
"its super weird," katanya, lalu aku tersenyum dan mengatakan: "Wacky Wednesday!" dia pun tertawa.
"Sandra Aulia?" ucap Bu Lora, dia baru saja kembali dari.. entah dari mana, tiba-tiba ia muncul dari balik pintu dan menyebut namaku, kupikir dia melihatku berkomentar aneh mengenai buku yang ia berikan untuk di baca.
"bisa kemari sebentar?" ucapnya, namun nadanya tidak tampak kesal.aku beranjak, beberapa pasang mata memperhatikan diriku keluar kelas, aku tidak memperdulikan nya.
"kenapa?"
tanyaku dalam hati.mereka membawaku ke dalam ruang konseling, kayaknya aku berada dalam masalah. benar benar wacky wednesday.
"Sandra, ini ada yang mau ngomong nak sama kamu," ucap Bu Lora, sambil memberikan gagang telephone kepadaku, aku hendak bertanya siapa, tapi lebih balik langsung ke terima dan ku tanya sendiri.
"Halo?" ucapku,
terdengar isak tangis dari balik telfon, dan beberapa raungan serta beberapa memanggil nama seseorang, ada apa?
"Halo nak, ini mama ibung,"
oh iya, mama ibung adalah kakak tertua dari keluarga papaku, dia memang biasa di panggil mama oleh setiap anak dari adik-adiknya, karena baginya, semua anaknya.
"Ya?" jawabku,
"Kamu apa kabar, Nak?" dia bertanya dengan nada tertahan, rasa rasanya aku tau bahwa ia ingin memberi kabar penting kepadaku, kalau hanya bertanya kabar tidak mungkin ia sampai menghubungi sekolahku,
"baik," ucapku, aku ingin segera tahu maksudnya menelfon, jadi kupercepat setiap jawabanku
"papa meninggal, Nak" ucapnya, nadanya berubah menjadi lebih lirih dan sedih, ia seperti di khianati oleh kenyataan,
aku terdiam,
"okey" jawabku, lalu menutup telfon. Bu Lora menghampiriku, dan mulai bertanya apakah aku baik-baik saja, sepersekian detik ingin ku tanya padanya bagaimana mungkin bertanya soal apakah seseorang baik-baik saja saat mengetahui bahwa setengah hati nya telah tiada?
"aku, baik baik saja bu. hanya saja, bolehkah saya pulang terlebih dahulu?" ucapku menegaskan bahwa aku tidak baik baik saja, aku berusaha.
"tentu," katanya, bahkan ia juga menawarkan untuk membawakan tas dan juga peralatanku yang masih ku tinggal di kelas, Rio merapikannya, sementara aku menunggu Ibuku datang untuk menjemput.
hari itu aku tertegun dan mengetahui bahwa tak selamanya manusia bisa berada di dunia ini, tak selama yang kita kira, kita selalu merasa nanti dulu atau sampai kapan, kepergian papa tak begitu berarti bagiku, menangis pun tidak. ia adalah satu satu nya yang di jadikan cerita setiap kepulanganku ke kampung halaman, ia begini ia begitu, seiring berjalannya waktu, mereka menjadikanku sebagai sasaran cerita, ia sama seperti papa nya, persis sekali.
sampai hari kelulusan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Manusia 1/2 Setengah
Novela Juvenilmendefinisikan sandwich generation di tengah-tengah hustle culture