Tahun ini menjadi tahun pertama porsenitas di SMP buat gue. Mengingat gue adalah salah satu pionir basket, jadi temen temen sekelas memilih gue untuk mewakili kelas dan mempercayai gue buat memilih tim.
Safa, Farah, Anin sama Dinda.
Seenggaknya, gue kenal mereka. Dan di dalam sebuah tim, yg penting adalah bukan seberapa mahir lu dalam bidang ini, tapi seberapa percaya lu sama tim lu.
"Jadi, kapan kita mulai latihan buat porsen?" Tanya Safa setelah tau dirinya masuk kedalam tim porsenitas
"Cukup lari pagi selama seminggu, 5km setiap habis shubuh, sarapan cukup dan jaga stamina. Kuat minum air putih juga bagus" Jawab gue "Latihan nya ikutan anak anak PD pas Sabtu Pagi aja," lanjut gue
"Nggak salah si Dio milih lu jadi pionir hahaha" Kata Rasya
"Sekeren itu kah gue?" bales gue sambil nyeringai
"Jiah, pala lu ntar ga muat buat di helm in" timpal Anin disambut dengan ketawa nya temen temen
"Kantin yuk" Ajak Dinda
[]Gue saat itu masih kelas 7, dan nggakbanyak di perhatikan sama orang-orang. Ya, gue rasa cuman karena gue adalah play maker di basket, dan orang orang sebatas tau itu. Kalau bukan karena basket, gue rasa gue bukan siapa siapa. Orang orang nggakperlu menghargai gue, seperti yang mereka lakukan sekarang, kebanyakan dari mereka melakukan itu karena prestasi dan relasi yang gue punya. Diluar dari itu semua, gue cuman Sandra yang cengeng.
-
Gue ke sekolah lebih pagi dari biasanya hari ini, bukan karena semangat, gue adalah seorang Sandra yg sangat ceroboh sampe sampe bisa ngilangin dasi nya sendiri.Akibatnya gue harus nungguin koperasi buka dan membeli sebuah dasi dengan harga 15 ribu. duit jajan selama 2 hari harus gue relain karena kecerobohan gue.
"San?" panggil seseorang
Gue menoleh dan memperhatikan Dio, mendekat ke arah gue. Udah sekitar 4 hari setelah pemilihan pionir porsenitas, gue sama Dio nggak ngobrol sama sekali. Dia nggak nyapa gue, dan gue terlalu gengsi untuk menyapa dia duluan."Tumben pagi pagi udah dateng" lanjutnya.
"Oh. Gue ngilangin dasi" timpal gue, sambil menunjuk koperasi, "jadi, gue nunggu itu buka" dia melirik ke arah koperasi yg tutup, lalu membuka tas nya.
"Ni, pake punya gua. Kebetulan gua punya dua" katanya sambil nyodorin dasi nya.
Gue adalah orang yg nggakpernah sombong sehingga gue nggak semuda itu menerima pemberian orang lain.
"Gue nunggu koperasi nya buka aja, gue dateng sepagi ini buat itu" Jawab gue.
"Kepala batu" katanya sambil menyodorkan dasi itu ke gue. Nggaklama kemudian rolling door kopsis di buka, gue beranjak dari hadapan Dio menuju ke kopsis. Terlihat jelas dari raut wajah nya kalau dia kesal
kadang kadang orang sombong dan angkuh emang harus di gituin.
[]
"serius lu ngelakuin itu?" Ujar Anin sambil menatap mata gue yang nggak mengabaikan sentakan kaget nya.
Gue hanya berfokus menyuap nasi goreng ke mulut gue, laper banget parah, 6 jam berlalu dan baru ini gue makan."Dio itu kurang nya apa sih? menurut gue dia itu 99,9" ucap Safa
"terlalu sempurna" sambung AninGue nggak menghiraukan ucapan temen-temen gue yg super supel dalam menilai cowok. Nggakmau naif, tapi gue mengakui Dio memang ganteng, dan banyak yg suka sama dia. Tapi gue nggakpernah tahan dengan cara dia menyombongkan diri nya.
•••
Waktu itu gue berencana nemuin Bu Sri, guru matematika gue untuk meminta ulangan susulan yg diadakan sekitar dua minggu yang lalu, karena gue demam.disitulah gue pertama kali ngobrol panjang dengan Dio yg kebetulan menunggu jemputan.
Dia menyapa gue dan menanyakan perihal kenapa gue masih di sekolah se siang ini.
"Mau ulangan susulan," jawab gue
"Lu mau gue lobbyin Bu Sri supaya lu bisa ikutan ujian besok pagi aja?" dia memberikan tawaran yang menurut gue sangat aneh, dia, seorang siswa, melobby guru.
"Gue bisa ngelakuin apa aja, gue pemilik ranking pertama saat pendaftaran sekolah kemarin" sambungnya —ahh, gue ngerti sekarang.
"Gimana? Mau?" dia bertanya lagi
"Makasih, tapi nggakperlu. Gue udah janjian sama beliau sejak 2 hari yang lalu" tolak gue
Gue memperhatikan gaya berpakaian nya yg rapi, meskipun udah pulang sekolah, tapi dia masih terlihat rapi.
"Lu nggak kemana mana ya seharian tadi?" tanya nya
gue memperlihatkan raut muka bingung dan dia mengerti
"Seragam lu masih rapi, cuaca hujan kek gini seharusnya baju lu nggak serapi itu" sambung nyague memberikan senyum tipis.
untuk ukuran cowok, lu terlalu banyak bicara.
"Sandra?" panggil seorang ibu ibu paruh baya berkacamata, dia mengenakan setelan cokelat-cokelat, "masuk ke ruangan Ibu, kamu punya waktu 60menit untuk essay ini"
"Gue duluan," ucap gue sambil beranjak dari Dio.
setelah itu dia sering menghubungi gue, minjem catetan, atau sekedar mengantar sesuatu ke rumah, dan gue nggak pernah menolaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Manusia 1/2 Setengah
Teen Fictionmendefinisikan sandwich generation di tengah-tengah hustle culture