BAB 1 : First Impression

80 6 0
                                    

*Pict diatas itu Keanne
-

Keanne P.O.V

Dia tampan, juga rupawan. Banyak orang yang berkata bahwa ia memiliki karisma dan kecerdasan yang luar biasa. Tetapi, banyak orang juga yang menyayangkan karena dia memiliki sikap yang benar-benar bertolak belakang dengan apa yang dimilikinya.

Ia pendiam, jarang berbicara maupun berekspresi. Kehidupannya datar, tetapi lebih banyak menderita karena perlakuan sebagian orang terhadapnya. Tidak memiliki banyak teman, bahkan satu pun rasanya mustahil untuk dapat mengenalnya lebih dekat (dari sudut pandangku).

Tidak ada yang tahu kehidupan seperti apa yang sebenarnya ia jalani dan tujuan apa yang ia miliki. Ia tampak seperti tak punya ambisi. Rasanya percuma saja baginya hidup. Sudah duapuluh tahun dan masih belum ada perubahan pada dirinya.

Aku Keanne, dan orang aku ceritakan diatas adalah tetanggaku sejak aku pindah ke Jakarta, Acquilino Maxell namanya.

Sejak aku pindah kesini empat belas tahun lalu, yang kutahu dulu dia tinggal dengan seorang asisten rumah tangga. Sekarang ia tinggal sendiri, sesekali asisten rumah tangga itu datang pada pagi hari dan pulang ketika sore.

Aku berkuliah ditempat yang sama dengan Maxell, dengan jurusan yang berbeda. Aku sering menemuinya—melihatnya terduduk dipojok perpustakaan dengan gaya khas dirinya yang ku tahu. Duduk dengan nyaman dan telinga tersumpal earphone. Kadang aku melihatnya sedang menulis, terkadang juga hanya membaca buku. Tidak ada seseorang yang ingin duduk bersamanya, ataupun berdiri disampingnya.

“Ne, ngapain?” tanya Sophia temanku, kami sedang berada diperpustakaan kampus mengerjakan tugas yang tadi diberikan oleh dosen.

Aku menggerakkan kepalaku ke arah Maxell, pria itu sedang menulis dengan tiga buku tebal dihadapannya. “Gue pengen nyapa dia, Pi.”

Sophia hanya mengangkat bahunya, dia sudah lelah akan ucapanku yang belum sekalipun pernah kulakukan. Bukan tidak ingin, aku hanya segan dan sedikit enggan. Maxell sudah tiga kali bolak-balik penjara, walau ia tidak pernah dipenjara hingga bertahun-tahun lamanya tetap saja aku sedikit takut. Takut bahwa rumor yang dikatakan orang itu benar.

“Coba sekali gih, Ne. Siapa tau dia jawab atau seenggaknya noleh sama lo.” Celetuk Sophia, aku menoleh padanya dan ia mengangguk yakin.

Aku kemudian beranjak dan mulai melangkah mendekatinya. Jantungku berdegup kencang, ini seperti sedang menghadapi berbagai macam ujian. Pikiranku melayang dengan bayangan berbagai respon yang akan Maxell berikan.

Sebelum aku mencapai meja tempat dia menulis, ia sudah membereskan bukunya dan menyelempangkan tasnya. Aku mempercepat langkahku.

“Maxell!” ucapku—lebih seperti berteriak saat ia melangkah pergi dari mejanya. Ia menoleh padaku. Datar. Kami bertatapan dengan suasana sepi perpustakaan dan semakin mencekam saat aku menatap matanya.

Tanpa berkata-kata ia kemudian pergi meninggalkan perpustakaan dengan cara berjalan yang terkesan buru-buru. Aku menghela napas berat. Aku menopang tubuhku pada meja dengan tangan. Kesan pertama yang buruk.

*

Aku menyalakan musik didalam mobil. Dengan mata terfokus pada jalanan Jakarta ketika sore hari yang cukup membuat penat, aku membuka jendela mobil dan menepi sebentar untuk mengisi bensin dipinggir jalan.

“Ini pak, uangnya.”

Setelah membayar, aku kemudian kembali melajukan mobilku. Karena kondisi jalanan yang cukup ramai (pagi dan sore adalah waktu yang tidak tepat untuk bepergian dikota Jakarta) aku menjalankan mobilku dengan kecepatan sedang.

Acquilino MaxellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang