BAB 5 : Envy?

21 7 0
                                    

Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri. Kenapa akhir-akhir ini aku menjadi sangat agresif pada Maxell? Kenapa aku benar-benar tidak bisa melepaskan pandanganku darinya sedikit pun? Kenapa aku sangat rajin bertanya pada Aditya mengenai keseharian Maxell? Kenapa?

Setiap aku memikirkan semua pertanyaan itu, jawaban yang selalu terlintas diotakku bukanlah rasa simpati lagi, melainkan sudah berubah menjadi sebuah rasa yang jauh lebih serius. Oke, lupakan. Kurasa aku terlalu berlebihan.

Kini aku sedang menjalankan rutinitasku, duduk di meja dengan mata menatap ke jendela kamar Maxell.
Aku memukul kepalaku sendiri agak keras agar sadar bahwa aku sedang mengerjakan tugas. Dan kudengar besok akan ada kuis, jadi malam ini aku harus sedikit mengurangi jadwal tidurku.

Saat hampir tengah malam, kulihat kamar seberang masih terang. Itu berarti Maxell belum tidur.

“Kak?”

Aku menoleh ke arah pintu kamar, kulihat Keanu membawa sebotol kecil kopi instan. Aku bukan penikmat kopi, tapi aku hargai usahanya dan menerima kopi itu.

“Belum tidur, kamu?” tanyaku. Keanu hanya terduduk di kasurku sambil melihatku yang sedang membaca materi untuk besok.

“Susah tidur, jadi yaudah aku kesini.”

“Oh gitu.”

“Kakak masih merhatiin kamar seberang, ya? Naksir banget kakak sama dia apa gimana?”

Aku menoleh padanya, “Apa?”

“Kakak suka sama dia?”

“Kenapa?”

“Nanya.”

“Kamu jealous?” tanyaku. Aku hanya berniat menggodanya. Pernah ketika aku menjalin hubungan dengan Matthew, ia terus mengirim pesan singkat pada Matthew yang semua isinya tentang menjaga dan jangan menyakitiku. Lucu memang, saat adik kecilmu merasa khawatir padamu yang jauh lebih dewasa darinya. Tapi sekali lagi, aku menghargai segala usahanya untuk menjagaku.

“Nggak. Cuma gak pernah ngobrol aja sama dianya. Lagian dia juga jarang dirumah, jadi gak pernah ketemu.”

Aku hanya mengangguk-anggukan kepalaku. Aku tahu itu. Keanu pulang dari lesnya pukul tujuh malam, dan pada saat weekend ia lebih menikmati tiduran dikamarnya, selain itu bisa jadi ia keluar dengan teman-temannya.

Sedangkan Maxell, dari informasi yang kudapat dari Aditya dia selalu sibuk setiap harinya kecuali hari Minggu. Di hari itu ia meluangkan waktunya untuk diam dirumah. Katanya full rest dan itu bisa sampai seharian, tergantung seberapa lelah hari-hari yang dijalaninya.

“Sebuah keajaiban kalo dia mau diajak ngobrol.” Ucapku sekenanya.

“Ibu biasa tuh ngajak dia ngobrol, papa juga.”

“Kakak ‘kan beda. Aduh, kamu ini ya balik ke kamar sana!” aku menarik tangannya untuk keluar dari kamarku. Awalnya ia menolak, setelah aku menariknya lebih kasar baru dia menurut untuk keluar dengan wajah masam.

“Aku bakal ke rumahnya lebih sering buat nanyain jurusannya.”

“Kamu mau jadi astronom?”

“Makanya kalo masuk kamar orang itu perhatiin detail kamarnya.”

Aku merengut, tidak terima atas hinaan halusnya padaku yang kurang memperhatikan detail.

“Apa banget, orang kamar kamu banyaknya buku sastra semua.” Balasku ketika ingat pernah menemukan setumpuk buku sastra tebal.

“Itu cuma kesukaan, cita-citaku bukan itu.”

“Cepat tidur sana!” ucapku final dan menutup pintu kamar. Keanu sangat posesif sekarang.

Acquilino MaxellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang