Keanne
Aku mengambil tas selempang yang menggantung dibalik pintu kamar. Hari ini aku ingin pergi ke kafe untuk menenangkan pikiran atas beberapa kejadian yang cukup membuat kepalaku pusing akhir-akhir ini. Aku melihat Theo dan Keanu sedang bermain games didepan layar televisi itu, mungkin PS atau entahlah aku kurang tahu.
“Ken, Kakak keluar dulu, ya! Jaga rumah! Bye, Theo!” ucapku sambil mengambil kunci mobilku ditas. Saat hendak menutup pintu, Keanu berteriak nyaring dan berkata,
“JANGAN SAMPE MALEM!”
Aku hanya membalas dengan anggukan dan segera melajukan mobilku begitu tiba di jalanan kompleks. Letak kafe yang kutuju itu tidak terlalu jauh dari kampus, Fennie—temanku selain Sophia menemukan kafe itu ketika dirinya lupa jalan pergi ke kampus saat menjalani MOS pertama kalinya. Dan karena kami satu jurusan juga cukup akrab satu sama lain, Fennie mengajak kami mengunjungi kafe itu pertama kali saat mendapat proyek kelompok hingga menjadi dekat seperti sekarang.
Setelah sampai di tempat yang dituju, aku segera parkir dan masuk kemudian duduk di meja bar.
“Hai, Sheila. Vanilla latte satu, ya!”
Pelayan yang kupanggil Sheila itu mengangguk kemudian langsung memberikan pesananku tak lama kemudian.
“Tumben baru kesini lagi, Ne. Ada info apa aja?” tanyanya sambil mengelap beberapa gelas dan cangkir basah yang mungkin baru saja dicuci.
Aku menyesap latteku, “Biasa aja. Tugas jalan, dosen makin ngeselin, gitu-gitu aja.” Jawabku.
Omong-omong, Sheila itu dulunya seniorku dikampus. Namun, karena mengalami berbagai masalah dengan petinggi kampus itu Ia memilih untuk mengundurkan diri menjadi mahasiswi disana dan bekerja di kafe milik Kakaknya ini.
“Udah nyapa si cowok itu? Siapa sih namanya, lupa.”
“Bukan nyapa lagi, Shei. Dia udah cinta mati sama si Maxell.”
Aku menoleh dengan kaget pada Sophia yang duduk disampingku kemudian disusul oleh Fennie disisi kiriku, “Kaget, ya ampun.” Aku mengusap dadaku, kedatangan mereka sangat tiba-tiba.
“Oh my Godness! Kok bisa?” tanya Sheila, gadis itu sudah selesai dengan gelas dan cangkirnya ternyata.
Karena gugup, aku kembali menyesap latteku, “Sophia terlalu overreacting kayak biasa.”
“Loh? ‘kan lo sendiri yang bilang..”
Aku menginjak kakinya dengan keras.
“Aww!” pekiknya. Dia menyikutku dengan keras, “Dasar Keanne sialan!” umpatnya lalu mulai memesan minumannya pada Sheila disusul oleh Fennie.
“By the way, dulu gue satu SMA sama Maxell.” Ujar Fennie tiba-tiba.
Wow.
Aku menjatuhkan rahangku, “Kok bisa?”
Fennie mengaduk americanonya, “Kebetulan aja. Santai, Ne, santai.” Ia menyesapnya sedikit kemudian kembali membuka mulutnya untuk bercerita, “Tapi emangnya lo gak tau kalo dia itu orangnya, umm, apa ya,”
“Biar gue cari tau sendiri nanti, oke?” potongku.
Aku tidak ingin pendapat negatif orang lain tentang Maxell memengaruhi seluruh isi kepalaku. Biar aku cari tahu sendiri nanti, positif atau tidaknya sifat dan sikap seseorang bukan ditentukan oleh omongan orang lain. Biarkan aku mengenalnya lebih, akan aku tentukan sendiri baik buruknya.
Fennie tampak menolak penolakanku terhadap ceritanya, tatapannya berubah, gadis itu sedikit lebih serius, “Tapi lo harus tau ini, Ne. Sebelum lo melangkah ke jalan yang.. kurang baik.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Acquilino Maxell
JugendliteraturKeanne Shinta adalah seorang mahasiswi biasa yang tinggal disamping rumah pria misterius yang seumuran dengannya. Banyak gosip kurang mengenakkan yang menyebar tentang pria itu, menimbulkan rasa simpati Keanne untuk mengenal pria tersebut lebih dala...