BAB 7 : Dazed

22 7 0
                                        

Maxell P.O.V
-
Aku mengusap-usap rambutku yang dengan handuk selepas mandi. Aku menaiki tangga untuk mencapai kamar tidurku yang terletak dilantai dua.

Aku membuka gorden kamar dan langsung memperlihatkan kamar seberang. Gadis itu tidak ada dikamarnya. Biasanya pada saat-saat menjelang malam begini gadis itu sedang duduk dimejanya dengan matanya menatap lurus ke arah jendela kamarku.

Jangan tanya aku mengetahui kebiasaannya itu darimana. Setiap sore menjelang malam biasanya aku duduk disofa dekat jendela yang tirainya jarang kubuka, disanalah aku sering melihat Keanne menatap kamarku.

Aku menggantung handuk basahku dikursi meja kerjaku, kemudian mengambil buku tentang kejadian-kejadian seperti ledakan bintang supernova dan sebagainya. Sangat menarik ketika kita memperhatikan orang yang sedang memperhatikan kita. Aku duduk di sofa favoritku itu, melihat Keanne yang sudah kembali pada kebiasaannya, mencoba mengulik tentang diriku hanya melalui jendela kamarku, menarik.

Aku tidak berusaha memunculkan diri, aku hanya membiarkan jendelaku terbuka sedari tadi. Bahkan untuk keluar kamar pun aku menyeberang kasurku, tidak ingin memperlihatkan bahkan hanya ujung jariku padanya hari ini.

Aku mengambil handukku di kursi meja kerjaku (untuk informasi, meja kerjaku berada tepat di samping tempat tidurku) kemudian melompat melewati kasur dan meraih knop pintu. Aku ke kamar mandi lantai bawah, menggantung handukku disana kemudian berbalik ke dapur.

Saat aku membuka kulkas, aku melihat ada beberapa wadah makanan yang kosong.

"Ini dari Keanne," gumamku sambil meraih satu persatu wadah itu, "sudah berapa lama ini didalam kulkas."

Aku mencuci wadah-wadah itu hingga bersih, berniat untuk memberikannya esok hari saat aku sedang bersantai karena jadwal yang kosong. Setelah selesai semuanya, aku mencuci tanganku dan mengambil satu kaleng minuman berkarbonasi.

Aku meminumnya sambil menaiki anak tangga, tidak memasuki kamarku, aku memilih untuk menghabiskan malam ini untuk tertidur dikamar yang dulunya ditempati kedua orang tuaku.

Harum ruangan itu begitu kentara ketika aku baru saja membuka pintunya. Aku masuk dan menyalakan lampu kemudian duduk di kursi sudut tempat ayahku duduk ketika mengobrol dengan ibu diujung kasur. Memori kecil itu tersimpan rapi dalam ingatanku, karena itu adalah kenangan terakhir yang aku miliki tentang mereka ketika kecil sebelum akhirnya mereka meninggal dunia dan meninggalkanku yang masih berusia lima tahun.

Aku tersenyum saat melihat bayangan Ibu tersenyum padaku diujung kasur itu seolah ia sedang menatap ayahku. Aku menyandarkan tubuhku, kemudian menyadari bahwa aku benar-benar membutuhkan sosok seorang Ibu dalam kehidupanku. Kehadiran si Bibi saja tidak cukup untukku, aku membutuhkan sosok yang lebih dari itu meski Bibi sudah kuanggap sebagai Ibu angkatku namun tetap saja perasaan kosong itu tidak pernah terpenuhi.

Tidak ingin semakin tenggelam dalam kesedihan yang terus memberikan rasa kesepian dalam hatiku, aku pun memilih kembali ke kamarku dan berbaring di kasur. Aku memejamkan mataku, berharap untuk dapat tertidur lebih cepat dari biasanya. Namun, ponselku berbunyi saat aku hampir mencapai lautan mimpiku.

"Ya?" ucapku saat si penelepon mengucapkan sapaan pertamanya.

"Besok lo free gak? Kita ngeband yuk?"

Aku melihat nama kontak si penelepon, Aditya, anak itu benar-benar tidak tahu waktu.

"Besok waktunya istirahat, lain kali aja."

"Lah? Ntar yang pegang alat yang nganggur siapa? Yang lain 'kan pegang alatnya masing-masing."

"Tinggal pegang aja apa susahnya?"

Acquilino MaxellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang