BAB 4: Otherside

36 4 0
                                    

Maxell

Ini hanyalah kilas balik dari apa yang sudah diceritakan sebelumnya. Saat dimana aku benar-benar merasa risi karena terus mendapatkan tatapan peduli yang palingku benci. Aku menunjukkan penolakan kecil saat itu, tapi otak kecilnya tidak menangkap itu.

Sial pada malam harinya aku mendapat serangan tak beralasan lagi dari orang yang sama. Orang yang selama ini selalu menyebarkan gosip yang buruk mengenaiku. Walaupun aku tidak menjamin orang seperti apa aku ini, yang jelas semua yang mereka dan kamu ketahui tidaklah benar. Itu hanyalah fakta palsu yang dibuat seolah-olah nyata.

Kembali lagi pada cerita, wanita yang menyerangku malam itu adalah salah satu dari sekian banyak koleksi miliknya. ‘Nya’ yang dimaksud adalah orang yang aku katakan sebelumnya, biang dari segala masalah yang ku dapat.

Untuk meluruskan fakta, aku akan memperkenalkan diriku secara resmi oleh diriku sendiri dengan segala kedetailannya agar kalian dan dia tidak salam paham.

Aku Acquilino Maxell, seorang pria yang saat ini sedang melanjutkan kuliahnya di universitas negeri ternama Indonesia jurusan astronomi. Seorang pria yang hanya ingin menjalani hidup dengan nyaman dan damai. Yang ingin setidaknya melewati hari tanpa adanya masalah, sedikitpun.

Kedua orang tuaku telah meninggal dunia ketika aku masih berada di taman kanak-kanak. Mereka meninggalkan banyak harta dan perusahaan untukku rawat. Aku merawat peninggalan mereka, tapi aku tidak menjalankan perusahaannya. Aku tidak tertarik dengan bisnis, jadi meski aku pemilik sah dari perusahaan yang kedua orangtuaku berikan, aku membiarkan paman-pamanku yang merawat perusahaannya.

Aku tinggal dirumah sendiri. Meski begitu. Aku merasa sangat nyaman karena rumah itu cukup hening dan menenangkan. Tidak banyak orang yang mengetahui rumahku yang sebenarnya, hanya dia dan keluarga juga teman-temannya dan temanku.

Lusa kemarin, aku mengetahui kalau orang tua tetanggaku belum kembali ke rumah. Dan aku melihat beberapa jendela sampingnya masih terbuka padahal hari sudah gelap waktu itu. Ketika aku ke kamar, si sulung dari dua anak dirumah itu malah sedang duduk didepan laptopnya. Dan saat aku melirik ke bawah—ke arah jendela, itu masih tetap terbuka. Aku membiarkannya dan melanjutkan kegiatanku untuk mandi.

Setelah selesai mandi dan berpakaian biasa, aku berdiri di balkon kamarku. Cuaca mendung hari itu, dan tidak akan ada pemandangan bagus dilangit malam yang mendung selain awan gelap. Sebagai pelampiasan, aku melihat kamar seberang. Sedikit memperhatikan dia, perempuan yang selalu melirikku diam-diam ketika ia duduk di meja itu. Kurasa itu salah satu kegiatan rutinnya. Mungkin.

Saat ia menatapku balik, aku tak kuasa menahan senyum dan malah menghasilkan sebuah seringai yang seperti peringatan. Yang kudapati adalah ia menunduk dan melihat laptopnya dalam-dalam. Seolah-olah menembus layar LCD itu hingga kedalam-dalamnya.

Ketika waktu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Kulihat ia sudah telungkup di mejanya. Dan kulihat gerbang depan belum digembok, itu berarti orang tua mereka masih belum pulang.

Aku menuruni tangga rumahku, membuka pintu teralis yang berada diantara rumahku dan rumahnya. Saat aku mengetuk pintu rumahnya, tidak ada balasan sama sekali. Lalu aku menekan bel beberapa kali dan tidak ada hasilnya.

Aku masuk ke rumahnya dengan santai, karena aku memang tidak mempunyai niatan untuk berbuat jahat jadi untuk apa aku harus mengendap-ngendap dan tergesa seperti maling?

Aku mengunci jendela dilantai bawahnya, setelah semua kupastikan rapat aku menaiki tangga dan melihat pintu kamar yang tertempel banyak stiker khas anak muda, sejenis ‘warn’ dan kata-kata gertakan yang disusun sedemikian rupa kemudian tertempel stiker kecil disudut bertuliskan ‘Keanu Aldy’ dan di bawah namanya dicetak besar-besar ‘DO NOT ENTER, OWNER ONLY!’.

Acquilino MaxellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang