Hari pertama menjalankan tugas, kami berpencar sesuai dengan bidangnya masing-masing. Tim air melakukan produksi dan distribusi air bersih ke titik-titik pengungsian, tim sanitasi mendesain jamban darurat untuk memenuhi target 200 unit yang telah ditetapkan, dan saya bersama sukarelawan dari PMI Kota Surabaya, Mirta, berkeliling menggunakan sepeda motor untuk mengecek titik-titik penyimpanan wadah air sekaligus melakukan pencarian data titik pengungsian untuk layanan promosi kebersihan di KLU. Satu per satu kami kunjungi, ketika kami berhenti di salah satu titik pengungsian daerah Boyotan Asri Kec.Kayangan, saya menyempatkan diri untuk berkeliling dan berdialog dengan beberapa warga terdampak. Rasanya tak sampai hati untuk menahan duka yang tertahan betapa tabah nan rapuhnya mereka dalam menghadapi ujian ini.
"Hidup kami seperti di-restart dari yang punya apa-apa menjadi tidak punya apa-apa. Tapi tak apa, kami bersyukur Tuhan telah menunjukan kasih sayang-Nya dengan memberikan ujian ini. Inshaa Allah kami ikhlas, pak." Ujar salah seorang warga terdampak. Setelah mendengarnya, saya hanya terdiam entah harus berkata apa. Rumah mereka memang hancur tapi tidak semangat dan keimanan mereka. That's really touch my heart bro...
Saat memasuki tengah hari kami pun bergeser ke arah Kec.Bayan di KLU, sepanjang perjalanan dipenuhi pemandangan yang kurang mengenakan karena kami melihat banyak sampah bertebaran di mana-mana, penyebabnya entah kebiasaan yang tiba-tiba muncul karena gempa atau memang sudah lama seperti itu. Dalam hati sebagai promotor kebersihan saya bergeming, "Tugas yang menarik telah menanti, bro."
Sepeda motor terus melaju, jarak dari titik pengungsiang ke titik lainnya cukup jauh jadi sepanjang jalan saya dan Mirta tak henti-henti berbincang mengenai situasi dan kondisi di Lapangan. Kebetulan dia sudah berada di Lombok 1 minggu sebelum kedatangan saya. Ketika kami sedang asik berbincang, kami melihat warga berlarian ke tengah jalan,
kami berhenti dan bertanya, "Tenang bu, ada apa?"
"Gempa mas, gempa!" kata seorang ibu dengan kepanikannya.
Saya dan Mirta hanya saling tatap kemudian berbisik, "Oh, gempa bro.."
Kalau diingat kembali ekspresi saya saat itu tampak konyol, wajar saja ketika sedang melaju di kendaraan gempa yang terjadi memang hampir tak terasa sama sekali. Ternyata setelah kami cek di situs BMKG gempa bumi tersebut berkekuatan 6.4 SR dan tidak berpotensi tsunami. Tak cukup sampai di situ, di hari yang sama setelah kami selesai mengadakan evaluasi layanan tepatnya pukul 22.00 WITA, ketika itu saya baru saja mau berbaring untuk istirahat kami kembali dikagetkan dengan guncangan yang besar dan cukup lama, ya, gempa susulan yang lebih besar dari sebelumnya, 7 SR!! Sirine tanda bahaya terus dinyalakan, semua orang berlindung tidak ada yang berada di luar tenda, semuanya melindungi diri dari jatuhnya buah kelapa di sekitaran camp yang kami tinggali. Situasi saat itu cukup membuat saya panik dan takut, khawatir air laut menjadi surut. Itu saya sebagai pendatang baru, bagaimana dengan warga terdampak? Tak terbayangkan kondisi di pengungsian seperti apa yang dimana trauma gempa bumi selalu menghantui mereka. Setelah gempa mereda, diambilah tas siaga sambil berlari ke jalan raya kami langsung memeriksa kondisi air laut memastikan tidak ada gejala-gejala akan terjadi tsunami. Btw, camp WASH PMI berada tepat di bibir pantai cukup nekad memang ketika semua orang mengungsi menjauhi lautan kami malah mendirikan camp tepat di bibir pantai tapi bukan tanpa alasan selain bonus bisa menikmati pemandangan sunset yang indah, di situlah satu-satunya sumber air yang mencukupi dan lokasinya cukup lapang sehingga dapat menampung 20 truk tangki yang kami operasikan. Di jalanan yang mulai retak terbelah itu hanya diterangi oleh beberapa senter dari tas siaga yang kami bawa. Rembulan sama sekali tak muncul, tampak enggan menunjukan dirinya hanya bersembunyi di balik awan menambah kegelisahan dalam hati. Kami berkumpul saling memeriksa satu sama lain memastikan tidak ada anggota yang tertinggal. Radio amatir dari posko utama menginstruksikan agar kami segera evakuasi ke rest area kemudian salah seorang dari kami berlari menuju Rudi. Oh iya belum kenalan sama Rudi ya? Dia adalah truk kanvas yang selalu setia menemani dan disiapkan untuk mengevakuasi kami jika dikhawatirkan terjadi tsunami. Bersama Rudi kami mengevakuasi diri ke Posko utama PMI di rest area sekitar 2 kilometer ke utara dari camp.
Setibanya di posko utama, salah seorang dari kami berkata, "Tenang aja, selama kudanya ga kabur, ga akan ada tsunami." Saya pun bingung mencari kuda yang mana, ternyata yang dimaksud adalah 2 patung kuda yang berada di tengah perempatan jalan. Damn! Hahahaha...
Satu jam berlalu situasikembali kondusif kami pun kembali ke camp untuk beristirahat.
KAMU SEDANG MEMBACA
#LOMBOKPUNYACERITA
Short Story"Catatan singkat tentang suka duka selama operasi gempa bumi di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Ditulis berdasarkan sudut pandang saya secara pribadi dan tidak mewakili tim secara keseluruhan." - Den Eki Julianto -