"Life must go on..."

92 4 0
                                    

Pagi hari setelah kehilangan salah seorang sahabat terbaik kami, suasana sangat dingin tak ada senyum seperti hari-hari sebelumnya. Rasanya ingin pulang saja, sepertinya sangat nyaman berada di rumah menonton TV bersama keluarga sambil meminum coklat panas. Dalam hati saya berbisik, "Bagaimana jika di sini saya...... Apakah masih ada kesempatan untuk saya bertemu dengan papa dan mama di rumah?"

Secara psikologis saya merasa sangat down saat itu, kebiasaan overthinking kembali muncul, Kekhawatiran dan ketakutan pada situasi saat itu melemahkan semangat saya. Dering notifikasi whatsapp terus berbunyi, dan saya membacanya satu per satu. Semua dipenuhi dengan ucapan bela sungkawa. Kemudian ada 1 orang muncul dengan sesuatu yang berbeda, intinya :

"Kita semua berduka, tapi kita pun tidak boleh tenggelam dalam kesedihan itu. Kita harus bangkit dan ingat alasan kenapa kita ada di Lombok, untuk membantu korban gempa, bukan? Kita lanjutkan perjuangan almarhum dan tetap berikan layanan terbaik bagi warga terdampak gempa. Life must go on.."

Ya, yang berkata seperti itu adalah orang yang saya sebut dengan one of the best mentors I've ever had. Kata-kata itu seperti menampar menyadarkan saya, merubah tatapan memilukan menjadi tatapan penuh tekad. Perlahan saya bangkit dan mulai menjalankan tugas seperti biasanya.

Saya dan Bang Indra Praja memacu sepeda motor hampir 5 jam per hari. 1 minggu pertama masih baik-baik saja, minggu selanjutnya kondisi stamina mulai turun sehingga secara berkala saya selalu menyempatkan diri untuk melakukan pemeriksaan kesehatan di posko utama PMI rest area. Jujur, mungkin saya memang termasuk orang yang melankolis dan susah move on. Ketika door to door di pengungsian dengan wajah yang tampak lusuh saya memaksakan diri untuk terus tersenyum, berusaha menutupi rasa lelah dan kesedihan yang melanda. Saat itu mereka selalu membahas obrolan yang sangat ingin saya hindari yaitu mengenai almarhum dan saya pun tetap berusaha tersenyum meski pun pada akhirnya mata saya berkaca-kaca juga. Bukannya tidak ingin membahas, saya tidak ingin membahasnya panjang lebar karena saya sedang berusaha move-on mengusir kesedihan yang menyelimuti hati agar bisa kembali fokus pada tugas. Ditambah lagi disetiap pengungsian tanpa diminta kami selalu disuguhi kopi oleh warga, entah berapa gelas kopi yang saya habiskan per hari. Karena saya bukan pecandu kopi, lama-lama lambung terasa tidak nyaman dan muntah karena mabuk kopi. Hahaha!


#LOMBOKPUNYACERITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang