Kiki melipat tangannya di meja dan tertidur.
Jam istirahat pertama sudah membuatnya malas untuk bergerak. Ini ada hari kelima di mana dia merasa kehilangan sosok Rendy—tidak, Kiki tak mau mengakuinya sebagai kehilangan. Kiki cuma merasa belum terlalu terbiasa kalau nggak ada Rendy di sekitarnya. Seumpama sisa energi yang dimilikinya dibawa pergi bocah iblis itu sehingga dia menjadi sangat lemas.
Julian prihatin soal ini. Berkali-kali mencoba mengajak Kiki mengobrol tetapi anak itu pasif. Biasanya Kiki nggak pernah seapatis ini, dia dikenal sebagai sosok yang periang dan berisik. Julian jadi berspekulasi kalau ini benar-benar dipengaruhi oleh perginya Rendy karena skorsing.
Tetapi di mata Kiki, tak sepenuhnya begitu.
Dia berdecak. Kalau pertemuan lalu bisa diulang, Kiki tak akan banyak ngomong. Dia agak khawatir soal apa yang dikatakan Rendy, cowok itu kan nggak bisa ditebak. Apa bener dia bakal pergi selamanya dari hidup Kiki?
"Dramatis banget, anjay." Kiki mengeluh, dan dia pening.
Perutnya sudah demo karena lapar pun diabaikan. Bel masuk, istirahat kedua, bel pulang; lewat begitu saja tanpa ada perubahan suasana hatinya. Kiki bahkan menolak untuk diajak pulang bareng Julian. Dia nggak semasokis itu dijadikan obat nyamuk sama pasangan lovey dovey. Sudah jelas 'kan? Pulang bareng Julian itu artinya bakal ada Hazel di sekitarnya. Mereka berdua itu lengket kayak lem dan kulit sepatu. Bukannya menghibur Kiki bakal tambah sakit kepala melihat kemesraan homo mereka yang terkadang sulit ditolerir akal sehat.
Uh.
Dan dia memang super duper pening secara harafiah.
Kasur kebanggaan langsung disergap pas sampai di rumah tanpa repot-repot membuka seragam dan sepatu. Dari belakang, ibunya mengomel diabaikan. Makanan tersaji yang mengharumkan ayam goreng crispy plus sambal setan ibunya juga tak menarik minat. Sialnya kenapa dikala stres begini, nafsu makan hilang? Kiki sudah kurus, kalau tidak makan bisa kerempeng terus peyot.
"Argh. Bangsat!"
Kiki ingin berkata pada hatinya untuk menanggalkan sikap gengsi. Seharusnya kalau nggak ada gengsi dia pasti punya kemauan kuat untuk mengambil ponsel dan mengirimi Rendy sepatah atau dua kata pesan. Tidak terlalu muluk, mungkin isinya hanya sebuah pertanyaan basa-basi remeh sebagai pembuka percakapan. Lalu mereka akan berbicara panjang tanpa ingat tentang masalah keduanya dan berakhir saling ejek.
Kiki terkekeh. Dia kangen Rendy.
Andai saja mulutnya tak jahat, apabila berkata sesuai nurani itu tak sulit, Kiki pasti sudah menjadi manusia dengan mulut baik-baik sejak dahulu kala.
Lama tengkurap, Kiki memutuskan untuk menelentangkan badan. Menatap plafon kamar putih. Tangan menggapai. Kepalanya terasa agak pusing setelah memikirkan banyak hal belakangan ini. Segala-gala yang dia lihat rasanya bergerak-gerak dan berputar.
Mungkin dia sakit?
Kalau iya, mungkin saja ini balasan untuknya. Lain kali jika diberi kesempatan untuk berkata lebih halus Kiki akan mempergunakannya sebaik mungkin.
Dadanya linu. Serius linu. Dia terus merasakan itu sampai akhirnya tertidur.
.
..
"Ren?"
Saat pintu dibuka oleh seseorang, Julian juga melihat kekacauan yang sama.
Cowok jangkung di depannya tak lagi menunjukkan aura ramah meski biasanya memang berekspresi seperti itu. Ini terdapat kejanggalan lain, Rendy, berdiri di depannya dengan wajah yang putus asa dan stres. Matanya bengkak, muka letih; seperti tak tidur tiga hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
RUN TO YOU [COMPLETE]
HumorKiki cuma remaja anti-gay yang menolak tegas hubungan sesama jenis. Meskipun Kiki berkali-kali bersinggungan dengan hal tabu itu, dia menganggapnya hanya sebuah kesialan belaka. Ketika akhirnya dia mendapat limpahan cinta dari seorang cowok gay, Kik...