Seminggu kemudian, Rendy akhirnya diperbolehkan untuk pulang.
Sejak dia dirawat sampai akhirnya pulih, Kiki hampir tidak pernah absen berada di sisinya, kecuali urusan sekolah. Kiki mengaku izin pada ibunya dengan alasan tugas kelompok yang menumpuk. Dia hanya pulang di malam hari.
Pataya dan Kiki memang tidak terlihat dalam komunikasi yang baik, tapi Kiki kelihatannya tak peduli. Berat badannya turun setelah beberapa hari merawat Rendy.
"Lo bisa ganti baju sendiri nggak?" tanya Kiki setelah selesai menaruh pakaian kotor Rendy dalam bak cucian.
Sejujurnya Rendy ingin manja, tapi dia tak tega. "Bisa."
Rendy belum pulih sepenuhnya, jadi Kiki agak sedikit khawatir. Saat turun dari mobil, Rendy bahkan harus dipapah karena kakinya masih lemas. Setelah melihatnya berhasil melepas pakaian sendiri, Kiki tahu dia seharusnya tak sekhawatir itu. Dia mengambil pakaian kotornya dan memberikan piyama yang bersih.
Sebelum keluar Kiki bertanya, "Lo belum makan tadi, lo mau makan apa?"
"Gue mau makan—"
"Gue tau! Nggak usah dijawab." Kiki memotongnya.
"Gue 'kan belum bilang."
"Mau makan gue 'kan lo?! Dasar iblis pemakan manusia."
Rendy terkekeh, bukan karena Kiki kembali ketus, tapi karena dia melihat telinga Kiki memerah saat mengatakan itu.
Tiba-tiba pintu kamar Rendy diketuk dan Pataya masuk dengan membawa nampan makanan. "Renren, kakak bawain bubur."
Nampan itu diletakkan di meja kecil di sebelah ranjang. Selain mangkuk bubur, di nampan itu juga tersedia air putih dan buah pir yang telah dikupas. Pataya duduk di ranjang sambil mengusap pipi Rendy.
"Kamu belum makan, 'kan? Kakak suapin ya?" tawarnya.
Rendy secara otomatis melirik Kiki yang masih berdiri di dekat situ, tapi Kiki langsung memalingkan wajah.
"Kak Taya istirahat aja, ada Kiki yang bantu suapin," sahut Rendy, mengusapkan pipinya di tangan Pataya perlahan.
Sekilas, Pataya terlihat kecewa. "Kalau gitu kakak ada di kamar sebelah kalau kamu butuh sesuatu."
Rendy mengangguk dan membiarkan Pataya pergi melintasi Kiki, berjalan keluar. Dua orang itu sama sekali tidak bertegur sapa ataupun saling melihat. Rendy tidak tahu apa yang terjadi pada mereka. Detik berikutnya Kiki ikut keluar, lalu kembali tak lama kemudian, mengambil mangkuk itu dan mulai menyuapinya.
Saat Kiki sudah menyendok buburnya, Rendy malah terbengong-bengong.
Kiki jengkel. "Kenapa lo malah bengong sih?!"
Bukannya menjawab, Rendy justru menoel ujung poni Kiki yang diikat ke atas dengan karet gelang. Seperti biasa rambut Kiki sangat halus, warnanya yang mengilat persis seperti rambut bayi yang baru lahir. Diikat begini saja membuat Rendy gemas sekaligus ingin tertawa.
Kiki menjauhkan kepalanya. "Jangan pegang-pegang. Nyetrum."
"Imut banget," sahut Rendy, terpesona.
Kepala Kiki sengaja digerak-gerakkan ke kiri ke kanan sehingga ikatan poninya bergoyang. "Gue mau gimana juga tetep ganteng emang."
"Menurut gue sih imut."
"Mana ada cowok mau dibilang imut, bego." Saat Rendy membuka mulut Kiki langsung menjejalkan buburnya. Rendy mendelik protes. "Makan dulu, baru ngomong."
"Imut nggak selalu berarti negatif," pungkas Rendy tak mau kalah.
Kiki berpikir keras. "Julian imut gue percaya."
KAMU SEDANG MEMBACA
RUN TO YOU [COMPLETE]
MizahKiki cuma remaja anti-gay yang menolak tegas hubungan sesama jenis. Meskipun Kiki berkali-kali bersinggungan dengan hal tabu itu, dia menganggapnya hanya sebuah kesialan belaka. Ketika akhirnya dia mendapat limpahan cinta dari seorang cowok gay, Kik...