DUA

4K 556 28
                                    

Sepi ya lapaknya abang Alva? Sedih sih... tapi karena udah hobi saya nulis dan komitmen pengen nyelesain takluk's series sampai selesai, makanya saya mutusin tetap lanjutin nulis. Walau kepala rasanya nyut-nyutan terus, saya tetap usahakan buat nulis di sela-sela waktu biar nggak diomelin kakak yang nyuruh istirahat aja dulu. Dan semoga hasilnya nggak terlalu mengecewakan.

Selamat membaca dan semoga coretan saya bisa tetap menjadi teman kalian di waktu senggang.

🐢🐢🐢

                                         

Namanya Kinanti Sahira, anak sulung dari dua bersaudara yang sedari kecil hingga remaja dihabiskan di desa, mengenyam pendidikan hingga berkumpul bersama kedua orang tua dan adiknya.

Tidak ada satu pun nilai istimewa darinya yang bisa membuat semua perhatian orang-orang tertuju padanya. Ia hanyalah orang desa yang beruntung mendapatkan bantuan dari bibinya untuk melanjutkan pendidikan di kota. Hingga setelah kuliah, Kinanti diterima bekerja di perusahaan tempatnya bekerja hingga saat ini dan kemudian takdir hidupnya membuat ia tanpa sengaja terikat dengan sang atasan yang selalu membuat ia kesal saat melihatnya.

"Lagi ngelamunin apa?" Alva yang tak tahan melihat wanita yang duduk di sampingnya terdiam memilih buka suara duluan. "Jangan banyak mikir yang nggak-nggak, nanti malah berimbas ke anak kita lagi."

Kinanti mendesah pelan saat mendengar topik tentang 'anak kita' kembali diucapkan oleh pria yang sedang menyetir itu dengan begitu mudahnya. Tanpa beban dan seolah-olah memang pria itulah ayah dari bayi yang ia kandung.

Ia sudah berulang kali menolak, tentu saja. Akan tetapi kekeras-kepalaan pria itu yang menyamai kerasnya batu sangat sulit ia hancurkan. Pria itu menganggap angin lalu setiap penolakan yang ia ucapkan. Bahkan tanpa sepengetahuannya, sang atasan mantan playboy tingkat akut itu sudah menemui kedua orang tuanya untuk meminta izin menikahinya setelah melahirkan nanti.

Permainan takdir ini sungguh membuat ia hampir gila. Ingin berteriak dan memaki rasanya hanya untuk melegakan dadanya yang terasa dihimpit dengan benda tak kasat mata di dalamnya.

                                              
"Calon ibunya anak-anak, kok masih ngelamun aja?" dengan berani Alva menautkan jari-jarinya di sela jemari putih yang terasa dingin itu. "Aku kan udah bilang, kamu nggak usah mikirin apa pun. Biar aku yang mikirin semuanya sampai kita menikah nanti."

"Tapi orang tua bap... "

"Mereka pasti setuju!" sanggah Alva dengan nada yakin. "Mereka adalah orang tua yang berpikiran terbuka. Jadi kamu nggak usah cemas dan tetap tenang menjalani masa kehamilanmu."

"Saya justru nggak yakin, kalau orang tua bapak mau menerima saya dalam kondisi begini. Setiap orang tua pasti ingin jodoh yang terbaik untuk anaknya dan saya sudah menyaksikan semua itu lebih beberapa yang lalu, dimana cinta sebesar apa pun nyatanya tidak akan sanggup mengalahkan tingginya derajat seseorang."

"Orang tuaku jelas nggak akan menilai kamu sebelah mata." kembali Alva berucap yakin.

"Apa bedanya? Kebanyakan orang kaya hanya memandang orang miskin seperti saya nggak lebih tinggi dari sampah. Yang bisa dibuang bahkan diinjak sesuka hati."

Alva yang fokus mengendarai mobilnya menanggapi ucapan sinis calon istrinya itu dengan senyuman. Tangannya yang masih menggenggam tangan yang terasa dingin itu terangkat, membawa jemari lentik itu ke depan bibirnya untuk ia kecup dengan sayang. Rupanya sekretaris kesayangannya ini perlu pembuktian nyata untuk mengusir rasa takutnya akibat peristiwa masa lalu.

Alva dan Cinta Pertama [TTS #5 _ SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang