PROLOG

8.6K 645 54
                                    

Setelah melalui proses mikir, saya mutusin buat nulis cerita Alva duluan, soalnya cerita babang kita yang satu agak sedikit rumit. Saya juga mau bilang kalau nanti bakalan ada waktu yang loncatannya cukup jauh, karena kisah Alva sebenarnya baru dimulai setelah dia menikah.

Itu aja yang mau saya omongin. Selamat membaca cerita babang kita yang satu ini, dan semoga coretan saya masih bisa diterima di hati teman-teman semua.

🐢🐢🐢

                                                 

Alva menghentikan laju kendaraannya tepat di depan sebuah gang. Pria itu memandang sekali lagi dompet berwarna biru tua yang terletak di kursi sampingnya. Setelah kembali berpikir untuk yang entah ke berapa kalinya, Alva mengambil dompet tersebut lalu kemudian keluar dari mobilnya.

Setelah memastikan mobil kesayangannya telah terkunci, Alva dengan tenang melangkah di gang yang kanan kirinya terdapat banyak rumah penduduk.

Sejauh mata memandang dan mungkin dikarenakan sudah larut malam, tak ada satu pun orang yang berlalu lalang di depan. Entah mengapa, tiba-tiba saja muncul firasat tak mengenakan dalam hatinya. Serasa ada hal buruk yang akan terjadi. Mengikuti kata hati, Alva mempercepat langkah agar segera sampai di tempat tujuan.

Semakin dekat dengan tujuan, firasat tak mengenakan itu semakin jelas terasa. Apalagi saat mata Alva menatap kerumunan orang-orang yang berkumpul di depan sebuah rumah sambil bersorak, melontarkan kata yang tak layak untuk didengar.

Degupan jantung Alva semakin kencang saat kedua tangannya membelah kerumunan. Lalu kemudian Alva membelalak ngeri melihat pemandangan yang tersaji di tengah kerumunan orang yang membentuk lingkaran tersebut.

"Apa yang kalian lakukan, hah?!"  seru Alva menggelegar yang dengan cepat diliputi amarah.

Dengan cepat Alva melangkah maju, mencekal tangan pria yang sedang memegang gunting dengan niat memotong rambut wanita yang terduduk tak berdaya di atas tanah. Kilatan mata Alva yang tajam membuat pria yang sedang memegang gunting itu menggigil ketakutan.

"Berani kau memotong sehelai saja rambutnya, saya pastikan besok tangan anda ini tidak akan lagi bisa digunakan!"

Ancaman yang Alva lontarkan mengundang kesiap kaget dari orang-orang di sekitarnya.

                                            
Namun seseorang yang sedari tadi menikmati bagaimana wanita yang kepalanya tertunduk itu disiksa dan dicaci oleh masyarakat itu langsung melangkah keluar barisan, tak terima tontonan menariknya dihentikan oleh orang yang tak dikenal. "Siapa anda yang berhak mengancam kami? Perempuan sund*l itu berhak dibegitukan, bahkan dirajam bila perlu karena sudah berani menggoda anak saya yang sebentar lagi menikah."

Kilatan amarag di mata Alva semakin membara. Dipandanginya lekat-lekat sosok wanita paruh dengan dandanan khas kaum sosialita yang berdiri satu langkah di depan para penduduk lainnya. Lalu mata memincing semakin tajam saat matanya melihat sosok pria yang beberapa tahun lebih muda darinya sedang berdiri di belakang wanita paruh baya berwajah memuak tersebut.

Alva mengenal siapa kedua orang itu. Bahkan pria yang berdiri di balik punggung wanita paruh baya itu pernah ia lihat mondar mandir di kantornya.

"Pengecut!" desis Alva sambil menghempaskan tangan dalam genggamannya.

"Beraninya anda mengatai saya!" hardik wanita paruh baya itu tak terima.

Seketika Alva tertawa meremehkan. Tatapan tetap menghunus tajam ke arah pria yang hanya berdiri diam di balik punggung ibunya yang bermulut comberan. "Saya tidak mengatai anda, wahai nyonya kaya yang gila hormat. Tapi jika anda merasa begitu, saya malah senang mendengarnya."

Tak terima dibuat malu di depan banyak orang, wanita paruh baya itu semakin melangkah maju ke depan. Niatnya yang ingin merenggut rambut panjang yang terlepas dari ikatan milik wanita yang masih tertunduk itu terpaksa ia batalkan begitu melihat pria berwajah keras itu memasang badan untuk menghalangi niatnya.

"Minggir... saya tidak memiliki urusan sama anda." hardik wanita paruh baya itu dengan telunjuk mengacung ke depan. "Perempuan ini sudah berani menggoda anak saya dan mengaku hamil dikarenakan anak saya. Pelac*r hina, sudah miskin masih juga bermimpi hidup mewah dengan menjerat laki-laki ka... "

"CUKUP!" bentak Alva dengan mata melotot semakin tajam. "Anda yang wanita terhormat ini, apakah di otak anda yang kerdil itu taunya hanya menyalahkan orang lain? Anda pikir, putra anda yang pengecut itu tidak bersalah sehingga mencari orang lain untuk anda salahkan? Sekali saja anda berani melangkah lebih jauh dari ini, saya pastikan Arsakha Virendra yang akan anda lawan."

Melihat wanita paruh baya yang tadinya sombong langsung berdiam kaku di tempatnya berdiri, Alva meminta maaf berulang kali kepada Rendra karena sudah membawa nama sahabatnya itu demi mengancam orang lain. Nanti saat bertemu, Alva berjanji akan meminta maaf secara langsung kepada pria bertampang sangar itu.

                                            
Dengan kemarahan yang berusaha dikontrol, Alva mundur ke belakang untuk kemudian berlutut di depan wanita yang tertunduk dengan bahu bergetar itu. Alva meyakini jika wanita itu sedang menangis walau sama sekali tak ada suaranya yang terdengar.

Pelan dipegangnya kedua bahu rapuh itu. Lalu dibawanya berdiri dan ditopangnya tubuh lemah tak bertenaga itu di dalam pelukannya yang erat. Begitu dirasa wanita itu aman di bawah perlindungannya, Alva kembali menghunuskan tatapan tajam ke arah pria yang membelalak melihat aksinya.

"Saya hanya akan mengatakan ini sekali kepada anda nyonya Biantara dan putra anda yang pengecut itu!" Alva tak peduli jika ia tak memiliki sopan santun kepada orang yang lebih tua. Sebab wanita paruh gila hormat di depannya ini tak layak mendapat sikap sopan dari siapa pun. "Dengarkan apa yang saya katakan saat ini, bahwa wanita yang anda hina ini adalah calon istri saya dan janin yang ada di dalam rahimnya adalah anak saya! Untuk ke depannya tetap tanamkan kata-kata itu di dalam otak anda yang gila harta."

Alva mulai menuntun wanita dalam rengkuhannya melangkah meninggalkan kerumunan orang-orang yang entah mengapa memberikan jalan untuk mereka lewati. Namun sebelum benar-benar pergi, untuk terakhirnya tanpa menoleh Alva kembali berbicara, "anda sudah membuang dan mengucapkan kata-kata tak pantas padanya. Dan jika suatu hari nanti anda menyesal dan anak anda yang pengecut tiba-tiba kehilangan kewarasan, menyesal karena pada hari tidak melakukan kewajibannya sebagai lelaki sejati untuk melindungi wanitanya, maka jangan harap di masa depan saya membiarkan kalian untuk mendekatinya. Tidak ada hubungan apa pun lagi yang mengikat kalian karena mulai hari ini, wanita ini beserta anak yang berada di kandungannya adalab milik saya. HANYA MILIK SAYA!"

Janji itu Alva ucapkan dengan mantap. Tanpa keraguan dan jujur berasal dari hatinya yang paling dalam. Ia tak tahu apakah takdir ini akan membawanya ke arah yang seperti apa. Namun yang pasti, janji yang ia ucapkan bukanlah isapan jempol belaka. Dan itu akan Alva pastikan dengan memberikan status yang pasti untuk wanita yang berada di dalam pelukannya ini.

                                                        
🐢🐢🐢

                                                        

                                                        

🌹🐢🌹
Salam, eria90 🐇
Pontianak,-03-10-2018

Alva dan Cinta Pertama [TTS #5 _ SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang