SEMBILAN BELAS

2.9K 447 38
                                    

Karenina terus mondar mandir di depan suaminya yang sedang duduk dan memasang ekspresi jengah melihat bagaimana ibu dari anaknya itu menceracau tak jelas sembari menggigiti kukunya karena gusar. Sedangkan di samping Darwis, duduk pria muda yang menampilkan ekspresi cemas yang sama.

Sudah dari tadi Karenina merasa cemas memikirkan langkah seperti apa yang harus ia ambil. Jika salah melangkah, bisa-bisa ia dan keluarganya akan terkena masalah besar. Akan tetapi, jika ia diam saja, maka kebahagian anaknya yang dipertaruhkan. Sumpah mati! Memikirkan situasi sulit yang sedang mengekangnya ini, Karenina rasanya ingin menutup mata saja untuk selamanya. Supaya apapun yang terjadi, ia tidak perlu dipusingkan untuk memikirkan jalan keluarnya.

"Informasi yang kamu bawa itu, apakah sudah terbukti kebenarannya, Ray?" Karenina menghentikan gerakan mondar mandirnya. Ia pandangi wajah pria muda yang duduk di samping suaminya.

Rayhan, sang keponakan yang nampak lelah dan jauh lebih gusar dari bibinya mengangguk. "Aku udah ngeceknya berulang kali, tan, tapi hasilnya tetap sama."

Karenina berdiri terpaku. Wajahnya memucat pasi seakan tidak ada darah yang mengalir di sana.

Informasi yang beberapa hari lalu ia minta dicarikan oleh keponakannya telah ia dapatkan jawabannya dengan sangat lengkap dan terperinci hari ini. Namun informasi yang dibawa keponakannya itu benar-benar membuat ia mati langkah, bingung harus melakukan apa untuk ke depannya.

"Kalau aku jadi tante, aku pasti nggak akan mau berurusan dengan mereka. Sebisa mungkin aku akan menghindar dan menganggap semuanya nggak ada."

                                                          Sebenarnya itu juga yang Karenina ingin lakukan. Akan tetapi, sisi hatinya sebagai seorang ibu tentu membuat hatinya meragu, bimbang ingin melangkah maju atau mundur dan tak ingin terlibat lebih jauh. "Bahkan harus mengorbankan kebahagian adik sepupumu?" tanya Karenina menatap nanar suaminya yang masih tak bersuara.

Rayhan mengangguk mantap. "Arsakha Virendra dan Ardhanu Ramadhan itu bukan lawan yang bisa diremehkan. Aku aja sampai gemetaran pas ketemu sama mereka yang entah bagaimana tau kalau aku nyari informasi soal mereka. Dan tante tau, Ardhanu Ramadhan secara khusus minta aku nyampaiin pesannya buat tante. Katanya kalau sampai pesan itu didengar orang lain, tante sekeluarga pasti akan malu."

"Apa pesannya?" tanya Karenina tak sabar seraya menekan rasa takut dalam dada.

Rayhan terdiam. Ia memutar kembali ingatannya akan pertemuan dengan sosok pengacara yang kemarin tanpa sengaja bertemu dengannya di pusat perbelanjaan.

Ia masih ingat bagaimana sosok yang nampak tenang itu menggendong dan menepuk sayang punggung kecil bayi laki-laki yang ada dalam gendongannya. Meski bibir itu terus tersenyum saat berbicara, akan tetapi tatapan tajam yang menguarkan ancaman tersirat nyatanya mampu membuat seorang Rayhan yang disegani bawahannya menggigil karena ketakutan. Tidak akan ada yang mengira bahwa di balik pembawaan yang tenang itu menyimpan sebentuk ancaman bagi orang yang sudah berani mengusiknya serta orang-orang di sekelilingnya.

"Rayhan! Jangan cuma diam aja. Cepat katakan, apa pesan yang ingin pengacara itu sampaikan?!"

Rayhan menghela napas panjang. Sudut matanya bisa melihat sang paman yang dari tadi tak sedikitpun mengeluarkan suara. Pria paruh baya yang sangat baik hatinya itu memang tidak memiliki hak untuk mengeluarkan pendapat berlebih di rumah ini tanpa seizin sang istri yang ingin mengontrol semuanya dalam genggaman.

Kasihan rasanya melihat sang paman yang tak berdaya menghadapi kuasa istrinya entah bagaimana bisa membuat pria itu selalu tunduk dan hanya memikirkan membuat kekayaannya semakin bertambah supaya kehidupan mewah sang istri selalu terjamin.

Alva dan Cinta Pertama [TTS #5 _ SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang