LIMA

3.4K 462 55
                                    

Pagi yang mendung cukup menjadi gambaran semendung apa suasana yang melingkupi rumah mewah berlantai dua itu. Di ruang makan yang terdapat meja besar dengan banyak kursi yang menghiasi, seakan menertawai wanita yang sedang mencoba menawari suaminya dengan berbagai jenis makanan yang terhidang di atas meja, namun tidak ada sedikit pun respon dari sosok pria yang duduk di kepala meja.

Keadaan seperti ini sudah biasa terjadi. Terhitung sejak lebih dari 3 bulan yang lalu, wanita cantik itu selalu mendapat tatapan datar dari suaminya. Tak mengapa, karena semua ini memang bermula darinya yang mencintai tanpa mau memahani jika cinta itu bukan untuknya. Salah namun wanita itu tak ingin sekali pun mundur dari jalan yang sudah ditapakinya.

"Mau lauk yang mana, mas? Aku masak banyak menu loh pagi ini."

Bibir pucat itu terus terkunci. Hanya secangkir kopi yang beruntung bisa masuk melalui sela bibirnya, itu pun dengan catatan jika yang membuat kopi adalah pembantu yang bekerja di sana.

Wanita bernama Evelina itu hanya bisa menampilkan senyum maklum jika suaminya yang tak menganggapnya ada itu justru lebih memilih berbicara dengan pembantu rumah tangganya yang sudah berusia lanjut.

Lina, begitu ia biasa dipanggil oleh teman-temannya, tidak merasa cemburu dengan pembantu di rumahnya. Sungguh! Ia hanya merasa alangkah beruntungnya pembantu berusia lanjut itu yang bisa mendengar suara serak suaminya setiap pagi.

"Pulang larut malam lagi, mas?" tak bosan tiap saat Lina mencoba membangun komunikasi meski selalu diabaikan oleh suaminya.

"Kalau gitu, nanti malam aku bakal nunggu mas pulang biar aku bis... "

                                                        
Belum lagi kalimat itu selesai terucap, suara decitan kursi yang didorong membuat Lina seketika mengatup rapat kedua bibirnya. Dilihatnya sang suami yang sudah berdiri, lalu merapikan jas dan kemudian berlalu dari hadapannya. Tanpa kecupan di kening, tanpa salam manis, dan tanpa kecupan di punggung tangan demi penghormatan.

Dengan cepat Lina bangkit dari duduknya. Tergopoh-gopoh ia berlari kecil untuk mengantar kepergian sang suami yang bahkan tak pernah sekali pun tersenyum padanya. Ucapan salam dan lambaian tangan mengiringi kepulan asap kendaraan yang meninggalkan pekarangan rumah, meninggalkan Lina dengan senyum miris tersemat di bibir.

Memangnya apa lagi yang ia harapkan? Sudah syukur suaminya itu masih ingat untuk pulang ke rumah mereja bukan malah ke rumahnya. Lina tahu, dan ia juga sadar diri bahwa konsekuensi dari keputusannya untuk bertahan adalah pengabaian dari sosok yang begitu ia cintai. Tidak ada yang boleh disesali, semuanya harus ia hadapi sembari berharap agar gunung es di hati suaminya mencair dan siap menerima cintanya.

"Kamu nggak apa-apa, Lin?"

Pertanyaan dengan nada khawatir itu dengan cepat membuat Lina mengubah ekspresi wajahnya. Senyum lebar itu tersungging, berharap sendu kelabu yang sempat menaungi matanya bisa tersamarkan. "Aku baik-baik aja." jawabnya seramah yang biasanya.

"Kamu yakin?"

Untuk meyakinkan sahabat yang tinggal bersebelahan dengan rumahnya, Lina merekahkan senyum di bibirnya semakin melebar. Ia tak ingin dikasihani, apalagi oleh orang sudah menasehati bahwa keputusan yang diambil adalah salah. "Tentu saja." jawabnya dengan nada pasti.

"Kamu tau," mata sang sahabat memincing tajam. "Entah mengapa aku merasa kalau kamu lagi nyembunyiin sesuatu dari aku."

                                                          Tiba-tiba Lina tertawa terbahak-bahak. Bukan jenis tawa senang melainkan ada kesedihan di dalam tawanya tersebut. Sahabat sedari kecilnya ini memang sangat susah dibohongi. Firasatnya yang tajam kerap kali bisa menerka tepat sasaran.

Alva dan Cinta Pertama [TTS #5 _ SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang