TUJUH

3.5K 442 39
                                    

Teman-teman semua, udah baca 'kan cuap-cuap saya di enam? Kalau kalian bacanya sampai selesai dan nggak dilangkahi, pasti kalian tau ada sedikit pemberitahuan saya di sana. Dan karena sudah saya kasih tau, makanya saya nggak sibuk memberi penjelasan sana sini.

Karena bab 8 dan 9 nanti ada adegan 21+nya, saya harap kalian nggak akan lagi menanyakan kenapa bab itu tiba-tiba saya hapus. Kalau kalian masih belum paham juga, silahkan kalian baca lagi cuap-cuap saya di bab 6.

Jadi, yang nggak mau ketinggalan baca bab 8 dan 9 sebaiknya segera dimasukin ke perpustakaan kalian dan tunggu update'an dari saya karena sebenarnya saya udah nulis cerita ini sampai bab 12.

Segitu aja, nggak usah panjang-panjang pemberitahuannya. Selamat membaca dan semoga coretan saya bisa menemani kalian di sabtu pagi ini.

🐢🐢🐢

                                               

Sudah sedari tadi Alva terus menggerutu sendiri melihat kelakuan Rudi yang terus mengekori langkahnya. Bahkan saat ia pulang ke rumah orang tuanya dan duduk di sofa ruang keluarga, sahabatnya itu masih setia mengikuti.

Entah apa yang sedang sahabatnya itu fikirkan. Sepulangnya mereka dari pertemuan dengan para sahabat yang telah berbahagia dengan cinta mereka masing-masing, Rudi terus mengintilinya dan berulang kali menanyakan kesungguhannya akan pernikahan yang beberapa minggu lagi dilaksanakan. Sungguh, biar pun sudah dijawab tanpa keraguan, sahabatnya itu rupanya masih belum puas juga dan terus saja bertanya.

"Kamu ini kenapa sih, Rud? Memangnya kamu nggak takut ditungguin ibumu di depan pintu karena pulang larut malam?"

Yang ditanya justru tersenyum tanpa beban. Diliriknya jam tangan yang sudah menunjukan pukul 11 malam dan pantas saja ia tak melirik tunangan judesnya seliweran di depan mata. Pasti gadis galak namun ngangenin sedang tidur nyenyak dan tak menyadari jika ada tamu yang datang ke rumahnya semalam ini.

"Woii... Rud. Kalau orang ngomong itu didengerin, bukannya malah ngayalin Via yang udah nyenyak sama bantal dan gulingnya."

Pria berusia matang itu tertawa lepas. Dengan gaya santai menepuk bahu Alva. "Ya maklumin aja, Al. Adekmu itu ngangenin banget soalnya."

Alva berdecih jijik mendengar kata Rudi yang terdengar tidak cocok dengan usia sahabatnya itu. "Ingat umur dikitlah, Rud. Jangan bertingkah kayak anak muda yang lagi kasmaran."

Rudi kembali tertawa lepas. Tidak khawatir sama sekali jika suara tawanya yang besar itu bisa membangunkan seisi rumah. Setelah beberapa detik terlewati dengan diiringi gelengan kepala sahabatnya yang tak habis melihat tingkahnya yang norak, tawa Rudi pun berhenti dan digantikan dengan tatapan serius saat menatap sang sahabat yang berencana akan menikah itu.

                                                        
"Kamu benar-benar sudah yakin untuk menikahi Kinanti, Al?" tanya Rudi dengan tatapan mata yang menelisik penuh penilaian.

Alva mengangguk mantap. "Tentu saja! Sudah sangat lama aku memimpikan untuk memiliki Kinanti. Bahkan sedari pertama kali aku melihatnya tanpa dia sadari, aku sudah menginginkan dia."

"Kamu yakin mencintai dia dan bukannya hanya ingin mewujudkan obsesimu yang dulu belum kesampaian."

Alva mengernyitkan kening, tak terima dengan perkataan sahabatnya itu. "Kalau bukan cinta, lalu apa lagi namanya, Rud? Sekian tahun hanya dia saja yang selalu menghiasi mimpiku. Aku senang saat melihat dia bahagia, juga merasakan sakit saat dia disakiti orang. Membuat aku berjanji kepada diriku sendiri, bahwa akan memberikan berjuta-juta kali lipat kebahagian untuknya. Coba kamu katakan, perasaan sedalam itu, apakah pantas kamu sebut sebagai obsesi?"

Alva dan Cinta Pertama [TTS #5 _ SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang