🍃🍃🍃

4.7K 145 21
                                    


   Aku tidak menyesal telah lahir menjadi anak seorang kiai kondang. Apalagi sampai harus menyalahkan diri sendiri. Bagiku ini adalah rahmat, sedangkan kesulitan bergaul yang kualami, adalah sepercik masalah yang memang merupakan konsekuensi dari sebuah nikamat.
    Aku telah sampai dilapangan futsal. Saat itu jam menunjukkan pukul 08:20 WIB . Kukenakan jersey The Bluse , Chelsea, benomor punggung tiga. Aku memang gemar bermain futsal, meski tak ada klub sepak bola tertentu yang aku idolakan. Untuk jersey The Bluse ini, aku pakai sekenanya. Masih banyak jersey-jersey klub lain yang aku miliki. Kebetulan saja, The Bluse menjadi pilihanku pagi ini.
     Pertandingan futsal kali itu,aku bisa memasukkan bola berkali-kali ke gawang lawan. Tapi hal itu tidak membuatku bangga, justru sebaliknya. Mereka membuatku kesal. Setiap kali aku menggiring bola, mereka tidak mau menghadangnya, setelah ku perintah, mereka baru mau mengejar bola yang kubawa, tapi ketika mereka telah ada didepanku, mereka diam tak bergerak, tak berbuat apapun, mereka tidak berusaha merebut bola yang kubawa.
"Ayo ,rebut! " pintaku. Mereka tak merespon, hanya tersenyum sambil tersimpul malu, entah apa yang membuat mereka bersikap seperti itu. Setelah kutanya kenapa mereka tidak mau merebut bola dariku, akhirnya mereka menjawab.
" Takut kakinya panjenengan sakit, Gus " jawaban mereka lagi-lagi membuatku kesal.
Ya Allah....  Seandainya mereka mengerti bahwa aku ingin diperlakukan sama seperti santri lainnya. Mengapa sepertinya sulit sekali.

***
Ya,aku memutuskan untuk segera pulang. Pulang dengan kekecewaan. Walaupun ada sedikit kekecewaan di hatiku, tapi aku sudah cukup lega dan puas, setidaknya aku sudah bisa enjoy
dari kegiatanku selam enam bulan terakhir yang begitu melelahkan, untuk sekedar senang - senang bersama 'teman-teman'.
Ya, mereka tetap aku anggap 'teman'
meskipun sikap mereka kaku terhadapku.

***

Hari-hariku selama ini hanya bergumul dengan kegiatan pesantren. Sulit mencuri-curi waktu untuk hal-hal yang tak penting. Menjadi anak seorang kiai,banar-benar serba salah dan selalu merasa tertekan. Bagaimana tidak, kesuksesan abah adalah barometer keberhasilan yang harus aku lampaui. Itulah yang aku rasakan. Namun seiring berjalannya waktu, aku mulai terbiasa dengan perasaan tertekan itu.
Belum lagi kalau melihat prestasi kedua kakakku yang selalu baik. Aku sebagai anak bungsu seringkali merasa jealous dan jengkel. Penyebabnya adalah respon dan apresiasi orang-orang yang selalu menganggap 'biasa' terhadap apa yang telah aku peroleh selagi belum bisa mengalahkan dan melampaui prestasi kedua saudaraku.
Mungkin tidak banyak yang menyadari itu. Banyak orang-orang yang berpikir bahwa menjadi anak seorang kiai itu enak, tinggal ongkang-ongkang kaki, berleha-leha, nama besar sang kiai akan membuat putranya juga besar dengan sendirinya.

***

Setelah tiga hari abah meninggalkan rumah dan pesantren, nanti malam, setelah shalat isya', abah meminta agar aku dan dua saudaraku berkumpul di ruang keluarga. Sepertinya ada hal penting. Batinku mencoba menerka.

***

Sebelum abah datang, aku dan kedua saudaraku sudah stay lebih dulu di ruang keluarga. Lima belas menit kemudian, abah baru muncul dari perpustakaan pribadinya dengan mengenakan jubah berwarna abu-abu. Abah berdehem, membuyarkan gelak tawa dalam obrolan ringan kami.
Tanpa basa-basi, abah langsung memulai obrolan.
"Kalian harus bersikap dewasa, " tutur abah dengan suara bariton yang membuat beliau masih saja tampak berwibawa meskipun usianya bisa dibilang sudah mengawang di petala langit senja.
"Terutama kamu, Azmi ." Tembaknya sambil menatapku lekat-lekat. Aku tak berani melihat wajahnya secara langsung. Aku bingung. Kenapa harus aku?!
"Karena, kelak ketika abah telah dipanggil Allah, kamulah yang akan menjadi penggantiku, " abah melajutkan dawuhnya. Aku terkesiap mendengarnya. Titah abah bagiku tak ubahnya sabda yang tak mungkin bisa ditawar apalagi ditolak. Tapi kali ini aku mencoba mengulur hatinya.
"Tapi kan, masih ada Mas Fahmi dan Mas Multazam, Bah. Menurutku mereka lebih dewasa dan memiliki kapasitas ilmu yang mumpuni untuk melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan pesantren ini. Bukankah Abah sendiri sudah paham betul dengan watakku, aku kurang suka dengan budaya pesantren, yang kadang berlebihan dalam menghormati seseorang, terlebih kepada seorang kiai dan keluarganya. Seringkali aku merasa risih dan malu saat dihormati dan diperlakukan istimewa," usulku dengan harapan yang sangat tipis, setipis kulit bawang.
Abah tak langsung menaggapi alasan dan tawaranku untuk menghindar dari amanah berat itu. Ia tersenyum melihatku yang sedang cemas menantikan jawaban darinya.
"Karena kepribadian dan sikapmu itulah yang membuatku semakin yakin untuk menjadikanmu sebagai penggantiku, nak. Pesantren dan masyarakan itu, butuh figur yang tidak 'gila hormat'.Yakinlah bahwa kamu bisa mengemban tugas mulia ini. Multazam dan Fahmi akan selalu mendampingimu memimpin pesantren ini," jawab abah disertai batuk berat.

***

Sampai saat ini aku masih belum mengerti mengapa sikap anehku yang justru membuat abah tertarik menjadikan aku sebagai penggantinya. Entahlah,aku tak mau mempermasalahkannya. Yang jelas, aku akan berusaha untuk tidak mengecewakan beliau.

***



Assalamualaikum,
Afwan baru di Up lagi ceritanya :(
Oh ya, di Part yang ini terdapat makna tersirat yah dari sosok Azmi.
Pasti kalian tau dong ya apa itu makna tersiratnya? Hehe..


     

         Jangan lupa baca Al-Qur'an

   

Jangan Panggil Aku 'Gus'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang