[11]

3.9K 512 28
                                    

Dua tahun sudah aku keluar dari kehidupan SMA. Kesepian, sedikit. Aku cukup menikmati kehidupan sebagai seorang mahasiswa, namun tetap saja kenangan bersama teman-temanku semasa SMA tidak bisa digantikan begitu saja.

Bermain voli dan menjalin hubungan rival yang sehat dengan junior jenius sekaligus menyebalkan. Terdengar tidak harmonis, namun justru itulah salah satu sumber warna dari kehidupanku masa SMA.

Saat aku di Tokyo, aku dengar Karasuno akhirnya berhasil memenangkan kejuaraan interhigh, mengalahkan sekolah unggulan Itachiyama gakuen. Ah. Para gagak itu terus saja terbang tinggi. Mereka benar-benar mendominasi kejuaraan sekarang. Dua tahun memenangkan pertandingan musim semi lalu satu kali memenangkan kejuaraan interhigh.

Setidaknya kehebatan mereka membuat kami yang pernah kalah dari mereka terlihat sedikit keren. Namun, Tuhan punya kuasa memutar balikkan takdir. Baru beberapa jam berita tentang kemenangan mereka atas kejuaraan Interhigh, berita buruk menyusul. Salah satu penyerang terkuat Karasuno sekaligus partner sang jenius meninggal dunia.

Aku sempat merinding. Aku mengenal chibi–chan, dia pria kaku dan hebat namun tidak salah lagi dia seorang yang baik hati. Aku dengar dia ditabrak sebuah truk besar saat perayaan kemenangan dan meninggal dunia karena kehabisan darah dan gagar otak berat.

Tidak ada yang menyangka. Pemuda secerah matahari dengan segenap stamina yang besar itu justru berumur paling pendek dibanding kita semua. Aku membenci Tobio–chan, tapi aku juga prihatin padanya.

Dibanding semua orang di klub voli Karasuno. Pasti dialah yang paling terpukul atas kepergian partnernya.

Aku harap dia menemukan kembali cahayanya.

Notebooks berwarna biru itu ditutup, pemuda bersurai cokelat gelap dengan balutan sweater marron menghela napas sejenak. Ia meraih ponsel, bibirnya mengerucut kesal karena sudah dua puluh menit berlalu, mantan partner volinya itu belum juga datang.

"Padahal aku sudah jauh-jauh dari Tokyo kemari." Batinnya kesal.

Manik cokelat teralih ke luar jendela, memandang hiruk pikuk jantung kota Miyagi yang lebih ramai dari saat dua tahun lalu. Baru saja ia hendak menoleh untuk memesan kembali segelas kopi, manik cokelat itu melebar dan terkunci pada sosok familier di luar sana.

Itu mantan rival sekaligus kouhainya. Kening pemuda itu berkerut begitu melihat sang kouhai berjalan bersama seorang gadis super cantik bersurai senja bertubuh mungil.

Sudut bibir pemuda bernama Oikawa itu tertarik keatas, "sepertinya aku terlalu mengkhawatirkanmu Tobio–chan."

"Kenapa kau berbicara sendiri?"

Tubuh Oikawa tersentak, ia menoleh ke belakang, mendapati pria berwajah garang yang tidak lain adalah Iwaizumi; mantan partner volinya saat SMA. Oikawa terkikik, ia menunjuk keluar jendela dengan dagunya, memberi isyarat agar sahabatnya itu melihat keluar.

Iwaizumi mengikuti arah pandang Oikawa, ia bergumam mengerti begitu melihat apa yang sahabatnya itu maksud. "Dia kekasih Kageyama?"

Oikawa mengedikan bahu, "entahlah."

Iwaizumi duduk di kursi, dia membuka buku menu walau manik matanya masih sesekali memandang keluar.

"Itu bagus untuknya, setidaknya dengan begitu dia tidak terlihat bersedih atas meninggalnya si cebol."

"Menurutmu begitu?" satu alis Oikawa terangkat, "sebagai seorang setter, kehilangan salah satu spiker pasti sesuatu yang membuat stress."

"Oya?" Iwaizumi menyipitkan mata, "tidakkah kau berpikir gadis itu sedikit mirip dengan si cebol."

Love Sunshine (KageHina Fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang