Purwaka

177 20 22
                                    

Music Video from Youtube : https://www.youtube.com/watch?v=wwjXwEO8_NU

Present by : Kay and Dhara De

Story by : Kay and Dhara De

Waktu berputar maju tiada henti. Tidak akan mundur dan terus bergerak. Kadang kala sanggup mundur. Terutama untuk seorang anak manusia yang menunggu. Atau pun penyesalan yang menyesakkan jiwa. Namun sekali lagi, harus diingatkan terdapat "kadang kala". Jarang terjadi.

Begitu pula yang ingin Bidari lakukan. Dia seperti pernah bertemu seseorang di dalam benaknya. Seorang pemuda yang mampu menjerat hati. Raut wajah tegas. Tubuh tinggi tegap. Intonasi nada suara rendah. Tutur kata yang lembut dan bijak. Sedangkah Dia merindu?

Gelang giok kembali diputar. Berkas sinar membias dari gelangnya. Sosok itulah yang memberikan gelang indah kemerahan tersebut. Namun rupa seseorang itu begitu susah sekali untuk diingat. Terdapat penghalang sendiri dari ingatannya. Seperti dibutuhkan kunci agar dirinya mampu mengingat semua hal.

"Bidari, jangan keluyuran ini mau Maghrib."

Peringatan wanita paruh baya berjas dokter yang tidak asing untuknya terdengar. Cerita kuno menjelang Maghrib sudah menjadi kepercayaan. Masyarakat Jawa sudah melekat erat hal mistis seperti itu.

"Nggeh, De," jawab Bidari sebelum keluar dari ruangan.

Bidari hanya melangkah menuju beberapa lorong. Tidak ada minat untuk menjelajahi kawasan rumah sakit. Tempat ini bukanlah hal menarik untuk dijadikan petualangan.

Kakinya berhenti saat angin sore memeranjatkan bisikan kata. Seperti menyampaikan pesan untuknya. Terdengar samar, terasa jelas di hati. Denting lonceng memecah kesunyian sore hari.

"Ini pasti khayalan," ujar Bidari menutup mata. Tidak mungkin ada suara lonceng di tengah lorong rumah sakit.

Bidari mengeluarkan udara di dadanya saat langit senja akan gelap. Ujaran orang tua dahulu tidak baik berkeliaran di kala itu dia lakukan. Masuk kembali menutup pintu ruangan kerja tantenya. Wajah lesu kini merekah bak kembang seroja. Bidari tidak salah mendengar ketika suara kucing mengeong terdengar.

"Bidari."

Tatapan mata merah dari kucing tersebut menjadikan sosoknya tidak asing untuk Bidari. Bidari mengerutkan kening, mencoba mengingat, tapi kepalanya jadi terasa pening.

Kucing tersebut mulai melangkah meninggalkannya. Tak ingin tinggal diam, Bidari mengikuti kucing hitam tersebut. Seruan di pikiran untuk berhenti bagai angin yang lewat. Terus kakinya mengejar kucing hitam besar itu, hingga dia terjatuh di depan bangsal. Bangsal gedung bertuliskan bunga Seroja.

Bidari ingat lambang Seroja sama dengan lambang di gelangnya. Bunga.

"Bidari."

Bidari terpaku mendengar suara berat nan dalam di depannya. Suara yang juga tidak asing. Kepalanya pun mendongak ke arah suara tersebut. Seorang pria muda berbaju pasien rumah sakit yang sama seperti dirinya, berjongkok di dekat Bidari.

Pria itu melengkungkan bibir ke atas. Tangannya terulur, menggapai tangan Bidari untuk membantu berdiri. Tatkala tubuh pria itu bergerak hendak mendekap tubuhnya, Bidari mencegah sembari bertanya, "Kamu siapa?"

***

Tunggu lanjutannya yak gaess ❤

Asaku selalu ada
Kemarin bukanlah bentuk cuwa
Untuk, Bidari

Matahari perlahan mendaki angkasa
Embun pagi bersusah hati menghilang
Namun, penglihatannya masih tenggelam
Cahaya menelisik di antara daun pohon
Ilalang berdiri menjaga benih pagi

Napasku keluar, mataku tutup

Terpejam merasakan suasana awal hari
Antara rasa hangat dan dingin
Inilah perasaanku pendam
Merindu malam, merindu siang
Untuk, Bidari

Seperti benang sutra yang kusut
Edaran kisah kita terhenti di tengah kemelut
Lantas waktu berputar maju enggan tersudut

Adakah cerita indah yang nyata
Menantikan akhiran bahagia?
Akan menjadi mustahil walau ada

Namamu terpanjat dalam doa akhirku
Yang menjadi tujuan setiap jejakku
Asaku jadi satu, mencintaimu.


GATAKALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang