"Kau pikir aku percaya dengan bualanmu? Kau mengatakan hal itu agar aku tidak perlu meminta kembali upeti yang telah kuberikan padamu, bukan?" Laksmi melototkan matanya tajam pada Brewok.
"Ampun, Baginda Narèswari. Hamba benar-benar melihat dengan mata kepala sendiri bahwa Putri Cendhani telah memanjat pohon. Dia bahkan terlihat begitu handal. Dia pasti bukan Putri Cendhani. Putri Cendhani yang asli pasti sudah mati."
Laksmi menelengkan kepala. Awalnya dia memang tidak percaya ketika mendengar Cendhani kembali pulang ke istana. Brewok kendati kelihatannya begitu, tapi dia adalah seorang yang suka menepati janjinya dan tak pernah berbohong padanya perihal sudah berhasil melenyapkan nyawa seseorang atau tidak. Brewok waktu itu mengatakan dia sudah berhasil membunuh Cendhani dengan mendorongnya ke jurang. Dia bahkan sudah memastikan jantung Cendhani tidak berdetak. Dan menghanyutkan jasadnya ke sungai.
Kalau gadis yang menempati Istana itu bukan Cendhani, lalu dia siapa? Cendhani tidak punya saudara kembar. Laksmi menggeleng. "Aku tetap tidak bisa mempercayai ucapanmu ini. Aku akan percaya kalau aku juga melihat dengan mata kepalaku sendiri."
-oOo-
Mata Bidari menangkap sosok Airlangga dengan pakaian berburunya dan menunggangi kuda. Pria itu mengarahkan kudanya ke gerbang pintu keluar istana. Di belakangnya, para pengawal dan Narottama setia mengikuti. Begitu Airlangga hampir dekat dengan pohon tempat Bidari duduk, gadis itu melompat turun. Membuat pria itu kaget dan sontak menarik tali kekang untuk menghentikan kudanya.
Airlangga menelengkan kepala, menatap Bidari tajam. "Apa kau ingin mati, Yayi?"
Alih-alih menanggapi ucapan bernada sarkastis itu, Bidari tersenyum. "Kakanda hendak berburu, bukan? Aku ingin ikut."
Mata pria itu membulat sempurna. Detik berikut, dia membuang napas. "Sepertinya aku salah dengar." Berbeda hal dengan Narottama yang tengah tersenyum maklum.
Bidari menatapnya dongkol. Dia tanpa sadar berkacak pinggang di depan Airlangga dan kudanya itu. "Apa salah bila seorang putri ikut kakaknya berburu?"
"Salah. Karena kau nantinya hanya akan menjadi beban masalah dan berujung menyusahkanku," ucap Airlangga dengan nada naik satu oktaf.
Melipat tangan di depan dada, Bidari memasang wajah pura-pura melas. "Aku mohon Kakanda. Ijinkan aku ikut. Aku bosan terus berada di sini."
Tingkat kedongkolan Airlangga terlihat bertambah dari tatapannya. "Aku 'kan tidak pernah melarangmu ke luar dari istana untuk berjalan-jalan! Jadi, keluarlah. Berjalan-jalanlah asal tidak sampai jatuh ke jurang seperti kebodohanmu lalu."
Bidari menggelengkan kepala. "Tidak! Saat ini aku hanya ingin ikut Kakanda berburu ke hutan. Kalo kakanda tidak mau mengajakku, jangan salahkan aku bila aku tiba-tiba berkeliaran di luar istana tanpa mengenakan pakaian sedikitpun! Lalu kau akan dicemooh karena tidak bisa mendidik adik dengan baik. Dan mendiang Ramanda pasti akan kecewa berat padamu."
Para pengawal sontak mengerjap dengan mulut menganga lebar. Narottama yang matanya sedikit membeliak, memandang Airlangga. Sementara itu, Airlangga hanya menatapnya dengan tatapan tidak terbaca. Bidari meneguk ludah. Sadar dia telah salah bicara.
Bagaimana kata-kata itu keluar dari mulutnya tanpa disaring dahulu? Bagaimana ini? Apa rahasianya akan terbongkar sekarang? Apa kepalanya benar-benar akan berakhir menjadi pajangan pintu istana?
"Kau tidak akan berani melakukan itu, bukan?"
Mendengar nada mencemooh Airlangga, amarah Bidari langsung tersulut. Dia paling tidak suka diremehkan.
"Kakanda tidak percaya?" tanyanya sambil menatap sang lawan bicara dengan menantang.
Kepalanya Airlangga menggeleng. "Tidak."
Detik berikut, Bidari memegang bagian atas jaritnya, lalu memutar badan ke balakang. Melangkah ke arah pintu masuk istana. Membuat Airlangga kontan melebarkan matanya. Para pengawal dan Narattoma pun juga.
"Cendhani!" seru Airlangga.
Bidari tersenyum tak terlihat. Padahal, dia tidak berniat membuka jaritnya. Sedikit menakuti Airlangga saja. Gadis itu memutar badan dan pura-pura memasukkan jarit bagian atasnya. Dia menatap Airlangga yang tampak diselimuti geram dengan sebelah alis terangkat.
"Kau boleh ikut."
"Apa? Aku tidak mendengar ucapanmu, Kanda?" Iya, dia ingin mengerjai Airlangga lagi.
Mata Airlangga memejam beriringan udara yang dia hirup masuk lewat indra penciumannya. Ketika matanya terbuka, dia mengucapkan, "Yayi, kau boleh ikut denganku berburu!" Nadanya naik beroktaf-oktaf.
Dan suasana setelahnya hening seketika. Hanya kicauan sesaat burung yang terdengar. Para pengawal dan Narottama memandang pria itu tanpa berkata-kata. Airlangga yang mungkin merasa malu lalu menatap tajam Bidari. Gadis itu tertawa tak bersuara.
Senyum Bidari mengintip sedikit. "Aku akan ambil kuda dulu." Dia beralih ke Narottama. "Narottama apa kau bisa menemaniku mengambil kuda di belakang istana?"
Pria tua itu seketika tersenyum dan mengangguk. "Saya akan menemani."
Hendak Bidari dan Narottama melangkah pergi, seruan Danureja terdengar dari arah samping mereka.
"Aku juga ingin ikut berburu!"
Menoleh, Bidari melihat pria itu berlari menghampiri. Bidari mengumpat di dalam hati. Apa tidak bisa saat ini dia dijatuhkan tongkat sihir Harry Potter agar bisa menyihir Danureja menjadi seekor kura-kura? Dia sudah begitu lelah menghadapi mahkluk aneh yang satu ini!
"Cukup Cendhani yang akan menyusahkanku saat berada di hutan nanti," ucap Airlangga, membuat Bidari tertawa senang di dalam hati. Pria itu ternyata juga tak menyukai keberadaan Danureja. Kali ini Bidari dan Airlangga sama.
"Ayolah Kang Angga. Kau tak perlu menjaga Cendhani nanti saat di hutan." Dia melirik Cendhani dengan penuh damba. "Biar aku saja yang akan menjaganya dengan segenap hatiku."
Perut Bidari terasa mual. Ingin muntah, tapi kalau dia muntah sekarang pasti akan tidak lucu. Airlangga menoleh sekilas pada gadis itu. Dan kembali menatap Danureja. Dia memejamkan mata dan menghela napas, lalu membuka kembali matanya. "Apa kalian bersekongkol ingin membuatku dongkol sekarang?!"
Bidari dan Danureja sontak menggeleng jenaka. Sementara itu, Narottama terlihat menahan tawa karena sudut-sudut bibirnya yang terlihat berkedut.
"Baiklah! Kalian boleh ikut aku berburu. Puas?!" Airlangga berkacak pinggang dan memandang keduanya. Bidari dan Danureja yang dipandang mengangguk bersamaan kembali. Mereka segera menuju istal demi mengambil kuda.
-oOo-
Bidari menghirup udara untuk mengisi paru-parunya. Segar. Hutannya benar-benar asri dan hijau. Aliran sungai tampak ada beberapa meter di sampingnya. Namun, saat dia hendak melesat ke sana, Airlangga sudah mendelik padanya. Dari tatapan matanya, pria itu seolah memperingatkannya untuk tak pergi jauh dari hadapannya.
Tatkala Airlangga mengeluarkan anak panah, Bidari menghampiri dan tersenyum lebar. "Kakanda aku juga ikut berburu, ya?"
Mata Airlangga menyipit. "Jangan coba-coba menguras kesabaranku di sini, Yayi?" desisnya.
"Bidariku, kau sebaiknya duduk saja dan memberi semangat untukku agar bisa mendapat hewan buruan yang banyak untukmu," celetuk Danureja yang juga sudah memegang anak panah dan busur.
Bola mata Bidari terputar ke atas dengan jengah. Dia lalu menatap Airlangga. "Ayolah, Kakanda. Aku ingin belajar cara memakai anak panah dan busur."
Memeriksa tali busurnya dan tanpa memandang Bidari, Airlangga menyahut, "Aku bilang tidak."
Bidari mendengus. Memutar badan menghampiri batu besar yang ditumbuhi lumut di dekat pohon kapuk, dia terus mengentakkan kaki. Airlangga meliriknya, lalu kembali sibuk dengan alat berburunya.
Airlangga menghela napas. "Baik, kau boleh ikut. Ambil kudamu dengan cepat. Aku tidak suka menunggu."
***
Alooo alooo.... lama tak jumpa. Maapkeun kita yak gaess baru bisa update sekarang :') Author2nya masih sibuk semedi di bawah pohon toge buat dapet cogan soalnya. Bhakk, bercanda :D
Semoga sukak, xoxo :))
KAMU SEDANG MEMBACA
GATAKALA
Historical FictionBidari hanya seorang mahasiswi biasa. Hal aneh terjadi saat dia berkunjung ke rumah tantenya di Kediri. Mendadak, dia masuk ke zaman Kerajaan Kahuripan kuno dan melawan sosok mistis yang menjadi legenda masyarakat Jawa. Apakah dia berhasil kembali k...