Pupuh : Loro

105 12 10
                                    

Cericit burung dan sinar mentari menyentuh sebagian wajah ayu, membuka kelopak mata Bidari yang sayu. Hal pertama yang dilihatnya adalah langit-langit atap yang terbuat dari kayu dan dinding berupa anyaman. Tangannya meraba ranjang beralas tikar anyaman. Matanya mengerjap perlahan, berusaha menyesuaikan cahaya.

Suara kicauan burung terdengar semakin berisik. Dia pun menoleh ke arah jendela kayu yang terbuka dan menampakkan dua ekor burung kecil melompat-lompat di batang pohon. Bidari berupaya bangun menahan nyeri dan perih dari tubuhnya. Kepalanya terasa pening bukan main. Sembari memegang kepala, matanya menelisik sekeliling.

Mata Bidari kembali mengerjap-ngerjap, mencoba mengingat kejadian yang telah dia lalui. Macan. Tebing. Dia jatuh ke jurang. Akhirnya dia bisa mengingat semua kejadian yang menimpanya. Ingatan terakhir yang dimiliki ialah terpeleset ke jurang setelah dikejar-kejar oleh seekor macan besar, menyeramkan. Namun masalahnya, sekarang dirinya berada di mana?

Melihat tempat tidur dari tikar bambu sederhana, dimar kecil yang sudah padam di atas meja di sampingnya, lemari, sebuah meja dan kursi yang terbuat dari kayu jati yang diplutir halus, pastilah saat ini dia sedang berada di kamar. Namun, kamar tidur di rumah Tante Nina bukanlah seperti ini!

Bidari mencubit pipinya dan mengaduh. Berarti ini bukan mimpi. Kembali, dia mengamati sekitar. Sungguh aneh. Bahkan, dia tidak bisa menemukan jam dinding setidaknya untuk mengetahui jam berapa sekarang.

Pintu kayu jati yang tidak terlalu besar kemudian berderit terbuka, memunculkan wanita paruh baya dengan lilitan jarit dari pinggang hingga mata kaki. Tubuh bagian atasnya ditutupi kain selendang. Rambut wanita itu tersanggul rapi dengan tusuk konde yang khas tersemat. Penampilanya sungguh mengingatkan Bidari pada wanita-wanita di drama kolosal yang sering ditontonnya di TV dulu saat masih SD.

Wanita itu tersenyum ramah pada Bidari. Tangannya membawa nampan kayu yang di atasnya terdapat teko dari tanah liat berisi air putih. Gelasnya saja tidak terbuat dari kaca yang biasa Bidari temui, tapi berupa tabung kayu. Begitu pula dengan sendoknya. Apa semua perabotan di rumah ini terbuat dari kayu? Pemiliknya pasti pecinta kayu-kayuan.

Wanita paruh baya itu duduk di atas ranjang, di dekatnya. "Syukurlah Ananda telah bangun. Diminum dulu ini airnya," dia berucap lembut menyuruh Bidari meminum air yang telah dituang ke gelas.

Kendati tak kenal dengan wanita paruh baya itu, Bidari menganggukkan kepala dan meneguk air putihnya cepat-cepat lantaran merasa tenggerokannya kering.

"Gusti Airlangga pasti senang melihatmu kembali," ujar wanita itu tiba-tiba, masih menyulam senyum senang.

Bidari seketika menghentikan laju gelas yang hampir menyentuh bibirnya kembali. Dijauhkannya gelas tersebut sembari menatap wanita itu tanpa berkedip. Dahinya lalu mengerut, bingung.

"Gusti Airlangga? Siapa Gusti Airlangga?" tanyanya tidak paham maksud dari ucapan wanita itu. Perasaan tak enak mendadak menyergapnya. Dia memegang tangan wanita itu dengan gelisah dan panik. "Ini saya ada di mana, Bu?"

Kini, giliran wanita itu yang mengerutkan dahi. "Gusti Airlangga, kakakmu. Raja Daha. Masa kau tidak ingat dengan kakanda-mu sendiri, Cendhani."

Bidari tertegun mendengar kalimat yang keluar dari mulut wanita asing di depannya. Kepalanya menggeleng-geleng. Masih tidak mengerti dengan semua keanehan ini. Mana mungkin dia bisa menjadi adik seorang raja? Tunggu dulu. Raja? Jangan bilang dirinya masuk ke masa lampau di mana kerajaan-kerajaan masih berdiri kokoh di Indonesia!

"Nama saya bukan Cendhani, Bu. Nama saya Bidari," ucap Bidari sembari menepuk-nepuk dadanya, "Bidari Arundaya. Saya tidak punya seorang kakak atau saudara kandung. Saya ini anak tunggal," dia berusaha menjelaskan keadaannya agar wanita tersebut percaya.

GATAKALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang