Silir angin siang senantiasa menerpa wajah dan menerbangkan anak rambut Bidari sewaktu ia menikmati sastra kuno dari perpustakaan kerajaan.
Gadis itu tidak menyangka bahwa kerajaan yang katanya baru dibangun tersebut memiliki koleksi sastra dari India. Rasanya ia ingin membawa salah satunya ke masa depan dan mengatakan kalau di abad 10 sudah moderen tidak seperti bayangan arkeolog.
Sorot mata Bidari menangkap pohon maja, terlihat teduh di panas hari. Kakinya melangkah mendekat untuk bersantai di bawah pohon. Itulah niatnya. Dia bahkan tidak menyadari dirinya tengah memanjat pohon yang tidak terlalu tinggi tersebut.
Dengan duduk di atas dahan besar. Ia menikmati aliran angin dan gemerisik suara gesekan dedaunan. Di dahan pohon, dia juga dapat melihat pagar tinggi dan istana pusat. Rasanya Bidari ingin berlama menikmati waktunya di sini.
Namun, hawa aneh mendadak terasa di tubuhnya. Menghalangi deru udara dan muncul bayangan.
"Ehm, kok berasa di awasi," ucap Bidari memegang lehernya, lantas ia menengok ke bawah. Baru ia ingin menoleh, ia salah mengambil pijakan. Kakinya terpeleset.
Beruntunglah, seseorang berada di dekat Bidari dengan cepat menangkap tubuh limbungnya. Ia merasa tertolong dan tidak enak hati karena merepotkan seseorang. "Uh, maafkan aku. Aku tadi..." Bidari menggantung kalimatnya dan melanjutkannya dengan menatap tajam sosok yang menangkapnya, "...Kakanda Airlangga."
Airlangga balik menatap tajam lawan bicaranya. Tidak terima ditatap, Bidari segera melepaskan diri dan menjauh dari tubuh Airlangga. Buru-buru memundurkan posisi.
"Apa dari kepalamu tidak ada kata hati-hati?" pertnyaan sinis Airlangga. Ia melirik pakaian Bidari yang kotor akibat lumut. Bekas menduduki dahan pohon.
"Kamu sudah besar tetapi seperti kapilaré," lagi Airlangga mengeluarkan ucapan yang membuat kepala Bidari mengepul. Mungkin saja ia bisa diam tetapi dia adalah Bidari Arundaya.
"Heh, kalau saja dirimu tidak mengagetiku, aku tidak mungkin jatuh!" elak Bidari dengan nada tinggi.
Sebenarnya tadi ia ingin berterimakasih pada sang penolong, kini itu hanyalah menjadi keinginan saja. Untuk Airlangga, tidak ada kata terimakasih dari Bidari. Sejenak ia melupakan bagaimana berbicara sopan dengan seorang Raja. Ketika menyadari kesalahannya, barulah Bidari sadar sedang berhadapan dengan siapa.
"Ah, maksudku Kakanda Airlangga mengagetkanku jadi aku salah mengambil pijakan."
Bidari mengerutkan dahi, Airlangga diam tidak mengatakan apa pun. Hanya memandang melalui bola mata hitam miliknya. Dia tidak suka tatapan Airlangga. .
"Kenapa Kamas di sini?" tanya Bidari berupaya menghindar dari tangkapan penglihatan Airlangga. Kalau bisa menghilang tidak masalah baginya.
"Bukankah yayi tidak bisa memanjat?" tanya balik Airlangga menurunkan nada suaranya.
Bidari merutuki diri, ia lupa tengah menyamar menjadi adiknya Airlangga. Pasti kakaknya Cendhani ini sangat hapal kebiasaan adiknya. Double sial, Bidari tidak bisa melepaskan kebiasaannya. Kedua kaki yang ia miliki seperti mempunyai tombol sendiri jika melihat pohon. Terutama pohon mangga.
"A-aku tentu bisa. Semua orang tentu bisa memanjat dari dirinya masih anak-anak. Mungkin hanya dirimu yang tidak mengetahuinya Kamas," ucap Bidari menyakinkan. Walau terdengar tidak dapat dipercaya. Dia sendiri tidak yakin seorang putri bisa memanjat pohon. Pikirannya tengah mengutuki Om Aryo yang mengajarkannya memanjat pohon sedari kecil.
"Hm... Aku ingin mengucapkan terimakasih telah menolong anakku."
Datar. Ucapan terimakasih dari Airlangga terdengar begitu lempeng. Jika Bidari dalam suasana humor pasti dia akan terbahak-bahak mendengarnya. Namun, yang berbicara di depannya ialah Raja. Raja Jawa Kuno. Pastinya akan ada hukuman jika menertawakan seorang Raja, bukan?
KAMU SEDANG MEMBACA
GATAKALA
Historical FictionBidari hanya seorang mahasiswi biasa. Hal aneh terjadi saat dia berkunjung ke rumah tantenya di Kediri. Mendadak, dia masuk ke zaman Kerajaan Kahuripan kuno dan melawan sosok mistis yang menjadi legenda masyarakat Jawa. Apakah dia berhasil kembali k...