Pupuh : Limo

58 9 3
                                    

"Cendhani, Ayunda akan kembali ke puri. Istirahatlah, biar Yu Drati menyiapkan busanamu." Bidari mengangguk mendengar Laksmi dan dayangnya akan pergi. Ia masuk kembali ke kamarnya dengan terburu.

Yang ditujunya pertama kali adalah gulungan lontar yang tersembunyi di balik bantal. Bidari sangat yakin tulisan dari potongan lontar tersebut milik Cendhani. Dia harus tahu apa saja yang dituliskan Cendhani selama ini. Siapa tahu itu bisa menjadi kunci untuk dirinya bisa menemukan Ratna Manggali.

Baru ia ingin membuka lembar lontar pertama, dayang yang di panggil Yu Drati menghampirinya dengan beberapa kain jarit dan tenunan. Ia yakin itu adalah pakaian seorang putri.

"Dên Ayu Cendhani ingin sesuatu?" tanya dayang tersebut. Bidari berjengit ketika dipanggil berulang kali. Dia masih belum terbiasa dengan nama barunya. Cendhani.

"Ah... tidak," jawab Bidari memasang senyum lebar. Selanjutnya, dayang tersebut meminta Bidari untuk segera mengganti kain dan menuju pemandian.

Bidari melirik gulungan lontar kekuningan sekali lagi. Sebenarnya dia memang risih dengan penampilannya.

"Dên Ayu?"

Bidari menghampiri Drati menuju ke pemandian. Masih banyak waktu untuk membacanya, segera ia berjalan menuju kolam besar tepat di belakang Puri. Bidari tidak menyangka jika setiap istana memiliki kamar mandi seluas kolam. Berendam di dalamnya pasti menyegarkan dan puas.

"Dên Ayu Cendhani tidak enak badan?" Drati kembali bertanya.

Bidari menggelengkan kepalanya sembari menahan tawa. Ia teringat dengan keinginannya waktu kecil, memiliki kolam renang pribadi di dalam kamar. Tentu saja, Tante-nya menolak mentah-mentah karena kamar Bidari berada di lantai dua. Mengingat itu membuat Bidari tersenyum kecut. Sampai sekarang ia belum menemukan jalan pulang. Malah ia turut ikut campur di masa ini.

"Dên Ayu, silakan berbusana dengan ini. Saya akan mengantar makanan."

Bidari tidak bisa menjawab apa-apa. Dia belum terbiasa dengan semua pelayanan yang diberikan. Semua orang tiba-tiba tunduk saat melewatinya dan tak jarang mereka menatap bagai melihat hantu. Sebenarnya gaya hidup apa yang dijalani Cendhani.

"Ah, mungkin jawabannya ada di catatan lontar Cendhani," ujar Bidari pada dirinya sendiri.

Bidari berdiri dan mengganti kain yang basah dengan jarit yang diberikan Drati. Ia mengingat jelas ajaran Gati tentang cara berpakaian seorang putri. Sungguh ribet.

"Dên Ayu, saya masuk."

Bidari membiarkan dayang istana membawa nampan berisi makanan dan buah-buahan. Ada juga seorang dayang yang membawa mangkok kecil dengan air yang penuh.

"Ini makanannya dan obat dari tabib. Anda bisa istirahat sekarang," ucap Drati meletakkan makanan tersebut di meja kecil.

"Terimakasih," Bidari mengucapkan rasa terimakasihnya.

Hal tersebut membuat kedua dayang saling bertatap muka. Dia tersenyum kikuk akan kelupaannya. Putri Cendhani pasti tidak pernah mengucapkan terimakasih. Seorang Putri pasti memiliki ego yang tinggi. Bidari mengibaskan tangannya, gerakan memerintah keluar dari kamar. Kedua dayang itu pun mengerti.

Bidari langsung duduk dengan tenang setelah kedua dayang yang tidak dikenalnya pergi. Ia membuka gulungan lontar yang terikat. Ada beberapa lembar lontar yang tidak berurutan tahunnya. Bidari yakin, Cendhani diam-diam menulisnya sehingga ia tidak mengurutkan tulisannya tersebut. Lalu mata Bidari terbelalak melihat tulisannya yang menggunakan tulisan kawi.

GATAKALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang