Hurt | 01

126 8 15
                                    

Jika waktu sudah berkata. Maka tak ada yang bisa menyangka. Bahwa pertemuan terburuk pun bisa menjadi kesan paling berharga.

***

Kriieett...

Suara pintu kayu yang tampak sudah usang dan lapuk itu terbuka perlahan. Menampilkan seorang gadis ayu yang hendak keluar dari ruangan kecil yang disebut kamar.

Ia mencoba memalingkan wajahnya ke kanan dan kiri untuk memastikan keberadaan seseorang. Merasa aman dari lelaki tua yang dihindarinya tersebut, gadis itu melangkah keluar dari kamarnya.

"Mau kemana kau?"

Belum lebih dari dua langkah ia berjalan, seorang pria yang sudah berumur itu menghentikan langkahnya.

Sial. Apalagi kali ini? Batinnya.

"Aku mau kuliah," Jawab gadis itu dingin tanpa ada balasan pandangan yang diberikannya. Ia hanya terus memunggungi lelaki tua tersebut.

"Sepagi ini?"

Ah iya. Ini bahkan masih terlalu pagi jika melangkahkan kaki untuk pergi kuliah. Tapi tidak untuk Naya. Gadis ayu itu sudah bersiap-siap sedari pukul empat pagi. Saat pukul lima dia akan pergi bekerja untuk mengantarkan susu dan koran ke beberapa komplek perumahan.

"Anda sudah tahu jika aku pergi bekerja terlebih dahulu. Jadi jangan berlaku seperti anda memperdulikan aku!"

Sudah menjadi ketetapan sendiri bagi Naya untuk tidak memanggil lelaki paruh baya itu dengan sebutan Ayah lagi.

"Berikan aku uang!"

Tidak tahu malu. Gerutu Naya dalam hati.

"Aku tidak memiliki uang lagi! Anda bahkan sudah mengambil gaji milikku tadi malam!" Serak Naya ketika berbalik badan menghadap lelaki tua itu.

"Itukan hanya gaji mu dari satu tempat. Kau bahkan bekerja dibeberapa tempat. Cepat berikan!" Pekik lelaki tua itu sembari melayangkan tangannya dan mendarat keras di wajah manis nan sendu gadis itu.

Wajah Naya terhempas ke samping kanan. Lelaki itu baru saja menampar keras pipi kirinya, bahkan melukai sudut bibirnya sampai mengeluarkan setitik darah.

"Berikan tasmu!" Ia meraih tas Naya dan mengeluarkan seluruh isi di dalam tas tersebut. Merasa tak menemukan sesuatu yang diinginkan, dia melempar tas itu lalu kembali masuk ke kamarnya dan berteriak geram.

"Arrgghh!!" Teriak sang Ayah sambil mengibaskan tangannya kesal.

Naya hanya menatap dingin punggung lelaki itu dan langsung membereskan tasnya. Ia langsung keluar dari rumah itu dan berangkat bekerja sebelum pergi untuk kuliah dengan menaiki sepedanya.

Setelah selesai mengantarkan susu dan koran, waktu menunjukkan pukul tujuh lebih tiga puluh menit. Masih ada waktu setengah jam lagi untuk dia menuju kampus. Karena lelaki tua bangka itu dia harus membuang waktunya dengan sia-sia.

Naya tidak boleh terlambat kali ini. Bahkan dia sudah terlalu sering terlambat karena insiden yang sama. Ia tidak mau dosen menandainya dan berdampak pada nilainya. Terlebih lagi dia sudah memasuki semester akhir.

Tepat pukul delapan, Naya tiba di depan kelasnya. Sedikit mengintip ke dalam kelas apakah dosen sudah masuk atau belum. Dan seakan Tuhan sangat menyayangi dirinya. Dosen yang biasanya tak pernah terlambat itu belum masuk. Dengan lega hati Naya membuka pintu kelas yang menampilkan mahasiswa lain tengah berbincang dan merasa bebas karena dosen itu belum masuk.

"Naya. Kemana saja kau?" Tanya seorang gadis yang memiliki lesung di pipinya. "Astaga, bibirmu terluka Nay!" ujarnya kembali sambil memegang wajah temannya yang telah duduk di sampingnya itu.

HURTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang