Jika ada satu kalimat yang bisa Kiara sampaikan pada Surya, dia cuma ingin bilang;
"Untuk cahaya matahari yang mengisi hari, terima kasih sudah hadir".
Tapi apa kesempatan itu akan ada? Hari-hari cerah yang mereka lalui entah sejak kapan menjadi men...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kiara meneguk kopi di gelasnya, sedikit melirik ke orang di sebelahnya yang sibuk mencatat. Terkadang terlihat diam memikirkan sesuatu. Cahaya kafe yang kekuningan dan tidak terlalu terang membuatnya sulit melihat wajah orang di sebelahnya itu. Hanya sesekali lampu ruangan memantul melalui kacamatanya.
Alunan lagu Here Comes The Sun mengisi jarak di antara mereka.
Here comes the sun,
and I say It's all right
Orang di sebelahnya sesekali menggerakan bibirnya mengikuti lirik lagu.
Kiara meletakan gelas miliknya di samping kiri badannya, bersebelahan dengan gelas milik orang itu. Kedua gelas itu ada di sisi yang sama, pemiliknya sibuk masing-masing, yang satu sibuk dengan gawainya dan yang lain membuka sebuah buku catatan yang diletakan di meja, memutar-mutar pena dengan jarinya.
Saat sedang membuka timeline twitter, sebuah notifikasi muncul. Dilihatnya isi pesan yang masuk, tangan kirinya menggapai gelas kopi yang ada di sebelahnya tanpa menolehkan pandangan. Dihabiskannya sisa kopi yang ada di gelas tersebut, Kiara tiba-tiba merasa ada yang aneh dengan minumannya.
"Puah! Pahit!" Kiara berteriak tiba-tiba. Pria di sebelahnya terkejut. Dilihatnya gelas yang dipegang Kiara.
"Mbak, kayaknya salah ambil gelas? Itu sepertinya punya saya." Kiara malu setengah mati, ingin bertransformasi menjadi udara.
"Aduh maaf, Mas, ini saya ganti ya!" Kiara panik, segera dia ambil gelas miliknya dan milik orang itu untuk diganti yang baru. Tapi kepanikannya justru mengakibatkan gelasnya yang masih terisi setengah tumpah ke buku milik pria itu yang terbuka lebar di atas meja.
Mereka berdua diam. Kiara semakin panik, rasa bersalah dan malu semakin menguasainya.
"Buku saya engga butuh minum kopi sih, kayaknya." sindiran itu terdengar tidak nyaman bagi Kiara.
"Maaf, enggak sengaja." hanya itu yang berhasil keluar dari mulut Kiara.
"Enggak apa, bagian sini belum ada tulisannya. Buku saya jadi ada aksen kopi sekarang, terlihat lumayan artistik." kata pria itu sambil melap bukunya dengan saputangan yang dia keluarkan dari saku celananya.
Kiara masih diam, merasa tidak enak.
"Kia, lo ngapain?" suara Mutia menjadi hal paling melegakan bagi Kiara di situasi canggung ini.
"Lho kok lo barengan sama Surya?" tanya Mutia lagi sebelum Kiara menjawab pertanyaan sebelumnya.
Surya?
"Ya, di sini ternyata dari tadi gue cariin." suara laki-laki dengan kemeja bunga-bunga berwarna hitam dan putih menghampiri mereka. Dia pacar Mutia, Kiara pernah melihat fotonya tapi belum pernah bertemu langsung.
"Ini ada apa sih? Kok gue ngerasa ada yang gak beres?" Mutia bertanya lagi karena melihat kecanggungan antara mereka semua di sini.
"Kayaknya kita perlu saling kenalan dulu deh. Kasian mbak yang ini kayaknya bingung." Pria berkacamata itu akhirnya buka suara. Kiara masih belum mengerti ada apa ini. Merasa asing.
"Ini loh Yang, si Kiara, desainer kantorku yang kuceritain itu." Mutia menjelaskan tentang Kiara kepada pacarnya. Pacar Mutia mengulurkan tangan pada Kiara.
"Elang." kata pria berkemeja bunga. "Dan ini temen gue, Surya. Kayaknya kalian udah ketemu ya?" Elang mengenalkan Surya pada Kiara.
Surya mengulurkan tangannya, "Halo, Kiara. Akhirnya saya tahu nama kamu ya."
"Iya..." Kiara menjawab sambil tertunduk. Jabat tangan Surya dia biarkan hingga Mutia yang menarik tangan Kiara, menyatukannya dengan tangan Surya.
"Kenalan tuh gini Kia, malah nunduk kaya disuruh guru ngerjain soal di papan tulis." omel Mutia.
"Tapi si Surya kan emang guru, Yang. Takut kali Kiaranya. Hahaha!" canda Elang yang dibalas oleh tawa Surya.
"Salam kenal Kiara, saya Surya." jabat tangan mereka sekarang tanpa dicampuri oleh Mutia. Kiara melepas jabatan tangan itu perlahan.
"Heran kenalan aja lama banget kaya sinetron deh." Mutia menggelengkan kepala. "Jadi kalian ada apa sih tadi di pojok berduaan?" Mutia mengulang pertanyaan yang belum terjawab.
"Itu Mut.. gue..." Kiara berusaha menjawab.
"Tadi dia nemenin gue nulis, terus ngehias buku catatan gue." potong Surya. Kiara melihat ke arah Surya, Surya meletakan telunjuknya di depan bibir. Kiara tersenyum sedikit.
"Iya Mut, tadi gue sama Surya abis melakukan aktivitas seni." balas Kiara, Surya tertawa mendengar jawaban itu.
"Ih apa sih ga ngerti." Mutia kebingungan.
"Pindah ke meja yang luas yuk, biar kita ngobrolnya enak." tawar Elang.
Mereka berempat pindah ke tempat yang lebih luas dan lebih terang, sehingga Kiara bisa melihat pria yang di sebelahnya dengan jelas, warna cat yang ada di jaket jeansnya ternyata ungu dan hijau, bukan biru seperti yang dia duga. Kacamata bulatnya membingkai mata indah orang itu dengan sempurna.
Merasa dipandangi, Surya melihat Kiara balik, "Kenapa? Ada yang nempel di muka saya?" tanyanya.
"Oh, enggak, itu tadi ada nyamuk." jawab Kiara asal.
Surya tersenyum, menampilkan lesung pipi yang sedari tadi tidak Kiara sadari. Kiara masih berhutang satu kopi pahit yang dia duga sebagai espresso kepada Surya, pahitnya masih tertahan di lidahnya hingga kini.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.