01. MAIN LEAD

831 63 56
                                    

#GrasindoStoryInc
#FiksiGrasindo

Ketakutan itu muncul ketika kita merasa terancam.
Terancam tersingkir, misalnya.
- Azalea yang mendadak parno -

Azalea memasang dasi sebagai sentuhan penampilannya pagi ini. Sudah dua minggu dia tak mengenakan seragam yang setahun ini telah menjadi kebanggaan baginya. Rambutnya dia kucir kuda. Tak lupa softlens bening pengganti kacamata yang biasa dia kenakan di rumah. Baginya, tak boleh ada celah hingga dia merasakan kembali kejadian pahit di masa lalu. Setidaknya, setelah satu tahun paling membahagiakan kala mengenakan seragam SMA.

Nilai memuaskan di jurusan Bahasa, teman-teman yang baik, dan guru-guru yang menomorsatukannya, adalah tiga hal yang wajib dia syukuri atas kerja keras yang dia lakukan. Dia bahkan bertekad akan mengulang dan menjadi lebih baik lagi di tahun keduanya. Itulah sebabnya dia sangat bersemangat memulai semester baru pagi ini. Saking semangatnya, dia sampai asyik bersenandung seraya menuruni tangga.

“Pagi, anak Papa!” sapa Pak Dani Handoko-papa Azalea-yang tengah duduk menikmati sarapan tanpa menoleh sedikit pun. Pria paruh baya berkumis tebal dan berkacamata itu tengah khidmat menyantap sepotong roti panggang sambil membaca koran. Tubuh besar dan tegapnya berbalut kemeja telur asin dan celana kain berwarna hitam.

Azalea melesat menuruni tangga dan langsung melingkarkan lengannya untuk memeluk leher Pak Dani dari belakang. Sebuah kecupan sayang dia daratkan pada pipi papanya.

“Pagi, Pa!” Azalea menyeringai lebar dan menyimpan pantatnya di kursi yang tepat bersebelahan dengan papanya.

“Roti panggang?”

Azalea menggeleng. “Lea nggak biasa sarapan, Pa. Cukup minum susu aja. Papa lupa?” Dia meraih segelas susu vanila hangat dan menyeruputnya.

Pak Dani tersentak. Dia segera melipat koran yang sejak tadi dibukanya lebar. Sejenak, dia menatap wajah ceria putri semata wayangnya itu lamat.

Merasa dipandangi begitu intens, Azalea akhirnya menoleh setelah meneguk susunya hingga tandas. “Nggak apa-apa, Pa. Lea ngerti. Kita baru setahun tinggal bareng. Kita masih punya banyak waktu untuk lebih mengenal lagi. Yang pasti, Lea sayang Papa.” Azalea tersenyum lebar, tak ingin papanya merasa bersalah karena belum begitu hafal kebiasaannya meskipun telah tinggal seatap selama setahun ini.

Pak Dani menyunggingkan senyum sembari melarikan tangan kanannya untuk mengusap pucuk kepala Azalea. “Nanti pulangnya sama Pak Satrio, ya?”
Azalea mengangguk. “Siap, Bos!” sahutnya dengan mengacungkan kedua jempolnya antusias.

oOo

“Lea! Lea, tunggu!” teriak seorang gadis sebaya yang tergopoh-gopoh menyusuri koridor lantai dua. Napasnya tersengal-sengal. Ransel di punggungnya bergoyang-goyang akibat gerakan heboh yang dia lakukan.

Azalea yang semula berjalan sembari meloncat-loncat kecil dan bersenandung, lantas menghentikan langkah. Dia menoleh ke belakang dan mendesah berat kala melihat siapa yang berteriak memanggil namanya.

“Astaga, Lea! Lo energik banget pagi-pagi dipanggil tapi malah semakin loncat-loncat kayak kodok. Kuping lo udah lo jual? Sombong amat!” Gadis itu menumpukan sebelah tangannya pada bahu Azalea sambil mengatur napas yang sudah putus-putus.

“Energikan lo kali! Lo semangat banget teriak-teriak. Sarapan apa, Non? Gajah bunting?”

“Sialan lo!” Gadis dengan rambut terurai itu mendelikkan mata dan mendorong pelan bahu Azalea.

SECOND LEAD SYNDROMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang