15. INVITATION

167 19 27
                                    

Sebelumnya, mohon maaf baru bisa update lagi. Senin kan tahun baru, jadi sengaja libur. Dan harusnya bab ini sudah update kemarin. Apa daya seharian listrik nati dan nggak ada sinyal. Sekalinya ada sudah ngopy jadi draft mendadak ilang. 😭😭😭 Sedih Reyn tuh. Nah, makanya mumpung sinyal kuat, Reyn update. Happy reading, Dear! ^^

----------------------------------

Tangan itu bukan buat diajak ngomong,
tapi buat diajak gandengan.
-Ardeka yang lagi sibuk nonton-

Azalea mengangkat bahu. Tatapannya masih merangkum punggung lebar Ardeka yang perlahan mulai menghilang di tikungan menuju tangga. Dia tak habis pikir dengan tingkah Ardeka. Kemarin cowok itu begitu manis tak banyak kata. Azalea bahkan sempat merasa nyaman berbagi cerita dengannya. Namun hari ini, cowok itu kembali ke sifat aslinya, menyebalkan.

Lorong lantai tiga sudah tak sesepi beberapa menit lalu. Satu per satu anak kelas XII mulai berdatangan dan menyisir lorong tersebut menuju kelas masing-masing. Azalea merasa risih ketika beberapa di antara mereka memandangnya penuh tanya. Dari cara mereka menatapnya, jelas Azalea tahu kalau mereka tengah menerka apa yang sedang anak XI lakukan di sana.

Azalea meringis menutupi tanda warna kuning di lengan kanannya. Tanda yang menunjukkan bahwa dia berada di tingkat XI. Setiap angkatan di SMA Nusantara memang mengenakan warna tanda berbeda sebagai pembeda. Untuk anak kelas X, tanda di lengan kanan mereka berwarna hijau, sedangkan kelas XII memiliki tanda berwarna merah.

Satu per satu anak tangga menuju lantai dua Azalea tapaki. Dia mengembuskan napas lega saat sampai di kawasan yang sudah biasa dia lalui. Langkah Azalea pun tak secepat tadi. Kini dia berjalan santai menuju kelasnya sambil sesekali menjatuhkan pandangan ke sisi kiri, melihat siswa-siswi yang baru saja datang melewati gerbang sekolah.

“Hoi! Bengong aja lo!” Haris menegurnya dari arah belakang. Dia melingkarkan lengannya di pundak Azalea dan menyamai langkah cewek itu.

Azalea menoleh dan mengendikkan dagu.

“Lo ....” Haris tiba-tiba menghentikan langkah dan sedikit memiringkan badan Azalea menghadapnya. Kedua alisnya yang tebal menukik tajam. “Lo kok belum sampai kelas? Bukannya tadi lo duluan, ya? Dari mana lo, Le?” tanyanya kemudian.

Azalea mengembuskan napas. Dia lupa kalau tadi sengaja melarikan diri dari cowok itu. Kalau sudah begini, memangnya Azalea bisa menjawab apa selain jujur?

“Dari lantai tiga.”

Haris memindai seluruh tubuh Azalea seolah sedang mencari pembenaran. Sedetik kemudian, dia mendecakkan lidah. “Pantas paper bag lo udah nggak tahu di mana rimbanya.”

Azalea refleks tersenyum. Kata-kata Haris terdengar receh bak lirik lagu dangdut. “Dangdut banget lo!” ujar Azalea seraya meraup wajah Haris dengan telapak tangan kanannya.

“LEA! HARIS!”

Seketika keduanya menarik bibir menjadi satu garis lurus. Tanpa menoleh pun mereka sudah tahu siapa yang baru saja meneriakkan nama mereka tanpa tahu malu. Azalea dan Haris saling tatap dan memberi kode untuk mempercepat langkah. Namun belum sempat mereka beranjak lebih jauh, tangan keduanya sudah ditarik dari belakang.

“Heh! Kalian budeg, ya?” Felia menyelip di tengah-tengah mereka dan menggandeng lengan keduanya.

“Lagian lo ngapain pagi-pagi sukanya teriak sih, Fel?” Azalea menjawab malas.

“Lo itu cewek tapi suaranya lantang banget kayak cowok, Fel. Kok bisa ya Kamal bisa gila sama lo,” jawab Haris sambil terkekeh geli.

Felia melepas rangkulan tangannya pada lengan Haris. Dia menyibak rambutnya ke belakang bak sedang memeragakan iklan sampo. “Pesona gue memang susah ditolak, sih. Lo aja yang nggak sadar sama pesona gue yang ke mana-mana, Ris!”

SECOND LEAD SYNDROMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang