09. SOMETHING ANNOYING

237 34 45
                                    

Karena cowok modelan lo nggak mungkin jadi penghuni perpustakaan.
Lo lebih cocok jadi penghuni lapangan.
-Azalea dengan bakat analisis paling akurat-

“Keliatannya gue gimana? Lagi pingsan?” Azalea tak mau repot-repot beramah tamah dengan orang asing. Dia bahkan membuang muka ke segala arah, menyisakan lirikan sinis. Baginya, Ardeka hanyalah orang asing yang tak sengaja dia kenal.

Ardeka tak lagi bersuara. Dia menatap Azalea lekat, tak membiarkan pandangannya teralih barang sebentar. Tingkahnya itu membuat Azalea risih. Suasana perpustakaan yang hening semakin memperparah kebungkaman di antara keduanya.

Kesinisan lirikan Azalea tak menurun sedikit pun, bahkan berubah menjadi tatapan sengit bercampur sebal. Namun bukannya merasa terintimidasi, Ardeka malah terkekeh sumbang. Manik cokelat madunya tenggelam dalam kelopak matanya yang membentuk satu garis lurus.

Azalea menggeleng menyikapi tingkah aneh kakak kelasnya itu. Tanpa sadar, tangannya semakin erat menggenggam beberapa buku yang dia dekap di depan dada. Dia bergidik ngeri melihat tingkah Ardeka yang mendadak berubah. Tadi, cowok itu menatapnya khawatir. Beberapa waktu kemudian, Ardeka malah menertawakannya.

“Udah gila nih orang,” gumam Azalea seraya berniat meninggalkan Ardeka yang masih asyik menuntaskan kekehannya.

“Eh, kok pergi, sih? Gue nggak gila, kok. Azalea!” panggil Ardeka seraya berusaha mengejar. Sebenarnya, Ardeka tak sepenuhnya mengejar. Dia tetap memberi jarak yang cukup antara langkahnya dengan Azalea alih-alih menyejajarinya.

Azalea sengaja tak menghiraukan panggilan Ardeka. Dia berjalan cepat ke luar perpustakaan. Tanpa menoleh ke belakang kembali, dia melintasi koridor lantai tiga, hendak menuju kelasnya di lantai dua. Dia pikir, dengan mengambil langkah seribu, Ardeka tak akan mencegatnya kembali. Namun belum beberapa jauh dia melangkah, Azalea merasa ada yang mengikuti. Untuk membuktikan firasatnya yang tak pernah meleset, dia berbalik dalam sekali gerakan cepat.

Benar saja! Ardeka berada beberapa langkah darinya. Kedua tangannya berada dalam kantung celana bahan abu-abunya. Cowok itu menatapnya santai, tak merasa telah mengganggu kenyamanan orang lain.

“Ngapain lo ngikutin gue?” tanya Azalea hampir seperti sedang berbisik dan mendesis bersamaan. Dia juga menyingkir, sedikit merapat pada tembok perpustakaan agar tak menghalangi jalan.

Azalea cukup sadar kalau dirinya kini sedang berada di koridor yang mana banyak siswa lain berlalu lalang. Beberapa siswa bahkan ada yang sedang asyik mengobrol di pinggir tembok pembatas yang mengarah ke halaman utama sekolah. Beberapa lagi tengah melewati mereka sambil berjalan santai atau berlarian. Dia tak ingin mengundang kegaduhan dengan menjadikan dirinya pusat tontonan gratis.

“Gue nggak ngikutin lo, Za. Kelas gue memang searah sama tujuan lo. Jadi, silakan lanjut jalan!” Ardeka mengeluarkan tangan kanannya dan mempersilakan Azalea untuk jalan lebih dulu.

“Za?” Azalea memastikan indera pendengarannya.

Ardeka menyengir semanis mungkin. Bahu dan dagunya mengendik selaras. “Itu panggilan gue buat lo. Kalo gue panggil ‘Azalea’, kepanjangan. Jadi, gue panggil ‘Za’ aja. Lo ada saran?” tanyanya malah mengajak Azalea mendiskusikan hal yang tidak penting.

Azalea melongo mendengar teori absurd Ardeka. Rahangnya turun beberapa senti. Namun dia segera tersadar dan merapatkannya kembali. Azalea berdeham sejenak, lalu menarik bibir ke bawah.

“Teman-teman gue, biasa manggil gue Lea. Jadi, jangan seenaknya buat panggilan nama orang lain.” Azalea menaikkan pandangan dan turun perlahan, memindai penampilan Ardeka dari ujung rambut sampai kaki.

Kemeja seragam yang terkancing sempurna, tetapi tidak dimasukkan ke dalam celana. Rambut dan kulit kecokelatan hasil paparan sinar matahari. Wajah tengil dan cenderung mudah memikat. Tatapan santai, tetapi mudah mengintimidasi sewaktu-waktu. Komposisi yang sempurna untuk makhluk yang tidak mungkin menginjakkan kaki di perpustakaan kalau bukan karena terpaksa, dihukum misalnya. Untuk mencari bahan tugas pun, Azalea yakin kalau Ardeka memilih mencarinya di internet yang belum tentu jelas sumbernya daripada harus repot bercengkerama dengan buku-buku tebal seperti dirinya.

Setelah menilai penampilan cowok di depannya, Azalea memicingkan mata curiga. “Kenapa lo bisa ada di perpus? Lo stalkingin gue, ya?” tanyanya kemudian.

Tawa Ardeka menggema. Bahu cowok itu bahkan bergetar saking mahsyuknya mengeluarkan tawa. “Kenapa lo bisa mikir gitu?” tanya Ardeka balik, tak terima.

“Karena cowok modelan lo nggak mungkin jadi penghuni perpustakaan. Lo lebih cocok jadi penghuni lapangan,” jawab Azalea seraya menoleh dan mengendikkan dagu ke arah gedung olahraga di sayap selatan.

Ardeka mengangguk berkali-kali seraya menahan tawa. “Mau jawaban jujur apa bohong, nih?”

Azalea mendengkus keras. Dia tersenyum miring sambil berkata, “Sabodo!” Lalu dia menatap Ardeka dengan tatapan penuh peringatan. “Gue nggak peduli lo itu stalker gue apa bukan. Gue juga nggak tertarik cari tahu tentang lo. Kalo lo berharap kata terima kasih dari gue buat yang di perpustakaan tadi, itu cuma dalam mimpi lo. Gue nggak pernah minta lo muncul di sana. Jadi, tolong jangan ikut campur apa pun masalah gue. Dan jangan ikutin gue!” ucapnya sebelum memutar badan dan bergegas pergi.

Sampai mendekati tangga untuk turun, Azalea tak lagi mendengar derap langkah dari belakangnya. Dia bernapas lega karena Ardeka sepertinya masih bisa diajak bicara menggunakan bahasa manusia. Bukan maksud Azalea untuk berkata kasar seperti tadi, tetapi mengungkapkan secara halus keinginannya untuk tak diganggu, hanya sia-sia belaka. Ardeka terlalu ingin tahu masalah orang lain. Persis Jessy.

Ah, Jessy! Azalea sampai lupa akan cara licik Jessy dalam menyabotase buku catatannya. Mantan sahabat baiknya itu bahkan tak merasa bersalah meski sekadar meminta maaf. Dengan bangganya, Jessy menyangkal kebenaran dengan bukti yang sudah jelas. Apa harga dirinya begitu tinggi hingga mengatakan maaf pun terasa kelu? Mungkin, Azalea perlu memberinya pelajaran untuk membuat Jessy jera.

Sibuk menggerutu dalam hati, Azalea tak menyadari bahwa seseorang kini telah menyejajari langkahnya. Dia baru sadar ketika buku-buku yang di dekapnya dirampas dalam gerakan cepat. Belum sempat mengatasi keterkejutannya, dia kembali dikejutkan dengan Ardeka yang menggenggam telapak kanannya sembari berjalan.

“Lo? Apa yang lo lakuin? Lepas, nggak! Siniin buku gue!” pinta Azalea geram. Dia meronta agar tangannya terlepas. Tangannya yang bebas bahkan berusaha merebut bukunya yang tengah Ardeka apit di sisi kanan.

“Gue cuma ngikutin titah lo, Za. Lo nggak ngebolehin gue ngikutin lo. Jadi, solusi terbaiknya, ya, kita jalan bareng.” Ardeka menghentikan langkah dan sedikit menyerongkan tubuh menghadap Azalea. “Kayak gini,” lanjutnya sembari mengangkat tangan mereka yang saling bertaut.

“Lo-”

“Udah yuk, ke kantin!” potong Ardeka.

Tanpa persetujuan, Ardeka kembali melanjutkan langkah. Tidak begitu cepat, tetapi juga tidak pelan. Dia sengaja menyesuaikan langkahnya yang lebar agar mereka tetap bersisihan. “Cara terampuh balikin mood itu, salah satunya makan, Za. Lo juga butuh tenaga buat ngerancang strategi ngebales Jessy,” sambungnya tanpa mengindahkan tatapan horor Azalea.

Dia nggak bisa baca pikiran, ‘kan?

Tbc

#GrasindoStoryInc
#FiksiGrasindo

Happy reading!

Ketemu Kamis depan dengan Bab baru berjudul "Missing".

Tinggalin jejak ya, Dear! ^_~

Big hug,
Reyn Reynaldi
10/12/18

SECOND LEAD SYNDROMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang