Sejarah Tradisi Tingkeban

157 5 0
                                    

Alkisah, pada zaman dahulu, tepatnya pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya, hiduplah sepasang suami istri yang saling menyayangi. Mereka adalah Niken Satingkeb dan Sadiya. Niken adalah seorang wanita cantik yang rajin beribadah. Selama bertahun-tahun berumah tangga, Niken telah melahirkan sebanyak sembilan kali. Namun, tidak ada satupun anaknya yang hidup. Mereka meninggal dunia ketika dilahirkan ke dunia.

Niken dan Sadiya merasa amat putus asa. Semua dukun beranak telah mereka datangi. Namun, tidak ada satu pun dari dukun-dukun itu yang bisa menjelaskan penyebab meninggalnya anak-anak Niken dan Sadiya. Tak lupa, segala doa telah mereka panjatkan ke hadirat Allah SWT. Siang malam, dalam keadaan sehat maupun letih, mereka bersujud sembari memohon kepada Allah SWT agar diberikan keturunan. Tetapi, Allah SWT belum mengizinkan Niken untuk melahirkan seorang anak yang sehat.

Pada suatu hari, kala Niken tengah mencuci pakaian di sungai, datanglah Sutejo. Salah seorang pemuka agama di tempat Niken dan Sadiya tinggal. Sadiya, yang kala itu tengah berada di rumah segera mempersilakan Sutejo untuk masuk ke dalam rumah.

"Wahai Tuan Sutejo, ada apa gerangan engkau datang ke rumah kami? Maafkan aku, hanya bisa menyediakan teh untuk Anda," ucap Sadiya sambil membawa 2 cangkir teh dengan uap yang mengepul.

"Tidak apa Sadiya. Aku datang kemari hendak membicarakan hal penting denganmu dan istrimu," ucap Sutejo dengan senyuman yang menenangkan hati.

"Tapi Tuan, istriku sedang mencuci pakaian di sungai dekat sini." ucap Sadiya

"Tak apa, aku akan menunggu barang satu atau dua jam," jawab Sutejo

Tak lama kemudian, terdengar langkah kaki yang berjalan mendekati rumah. Lalu, masuklah Niken membawa seember pakaian bersih yang siap untuk dijemur. Alangkah kagetnya hati Niken ketika melihat Sutejo yang duduk sambil menyeruput secangkir teh d rumahnya.

"Niken, istriku. Kemarilah. Ada hal penting yang hendak disampaikan Tuan Sutejo kepada kita," ucap Sadiya.

"Apakah gerangan itu, wahai Tuan Sutejo?" tanya Niken setelah ia menempatkan dirinya di samping suaminya.

"Aku dengar, kalian berdua ingin memiliki anak. Benarkah itu?" tanya Sutejo kepada Niken dan Sadiya.

"Benar Tuan, tetapi aku rasa Allah belum memberi kepercayaan kepada kami berdua," ucap Sadiya dengan muka sedih.

"Apa kalian berdua benar-benar ingin memiliki anak?" tanya Sutejo lagi.

"Benar Tuan. Bertahun-tahun sudah kami berumah tangga. Akan semakin lengkap, jika sekiranya kami memiliki seorang putra." ucap Sadiya.

"Maukah kalian berjanji kepadaku?" tanya Sutejo.

"Apakah gerangan itu, Tuan?" tanya Niken.

"Berjanjilah padaku. Jikalau kalian memiliki seorang putra atau putri, kalian akan menyayangi mereka," ucap Sutejo.

"Kami berjanji, Tuan," ucap Niken dan Sadiya bersamaan.

"Baiklah jika begitu. Besok, pergilah kalian menghadap Prabu Jayabaya. Beliau akan memberikan petuah untuk kalian," ucap Sutejo.

"Baik, Tuan. Aku dan istriku akan menemui Prabu Jayabaya besok. Terima kasih atas kedatangan tuan hari ini. Semoga Allah membalas kebaikan Tuan," ucap Sadiya. Sutejo yang telah melaksanakan tugasnya kemudian pamit pulang.

Keesokan harinya, seusai menjalankan salat Subuh Niken dan Sadiya berangkat menuju kediaman Prabu Jayabaya dengan menumpang andong milik seorang saudagar kaya di kampung mereka. Setelah melewati perjalanan panjang, tibalah Niken dan Sadiya di kediaman Prabu Jayabaya.

Pengawal mengizinkan Sadiya dan Niken untuk masuk ke dalam istana dan menemui Prabu Jayabaya. Sambil menunggu Prabu Jayabaya yang tengah mengaji, Niken dan Sadiya diberi makanan yang sangat enak oleh pelayan-pelayan istana. Setelah menunggu sekitar dua jam lamanya, akhirnya Prabu Jayabaya datang dan menemui Sadiya dan Niken.

"Wahai Prabu, terima kasih telah meluangkan waktu Anda untuk kami berdua," ucap Sadiya ketika Prabu Jayabaya duduk di kursi di hadapan mereka.

"Tak masalah. Namun, hal apa yang membawa kalian berdua kemari untuk menemuiku?" tanya Prabu Jayabaya.

"Kami berdua sudah lama menginginkan anak, Prabu. Namun, anak kami selalu meninggal dunia ketika dilahirkan. Tuan Sutejo di desa kami menyarankan kami berdua untuk menghadap anda. Sudilah kiranya Prabu memberi kami saran," ucap Sadiya.

"Aku tidak bisa membuat istrimu melahirkan seorang anak yang sehat. Hanya Allah yang bisa. Tapi, aku punya beberapa petuah untuk kalian berdua," ucap Prabu Jayabaya.

"Apa itu Prabu?" tanya Niken.

"Setiap hari Rabu dan Sabtu, pukul lima sore, mandilah kalian berdua dengan menggunakan tempurung kelapa," ucap Prabu Jayabaya, "kemudian, kalian berdua pakailah pakaian bersih dan siapkanlah kelapa gading yang berhiaskan Kamajaya dan Kamaratih yang telah diikat dengan daun tebu tulak."

"Apa yang harus kami lakukan selanjutnya, Prabu Jayabaya?" tanya Sadiya.

"Selanjutnya, teroboskan kelapa itu dari atas ke dalam kain yang kau pakai, Niken. Lalu, ikatlah kedua kelapa itu secara melingkar di perutmu. Tugasmu, Sadiya, adalah memtong tali letrek yang melingkar di perut Niken dengan kerismu, yang sebelumnya telah kau beri rempah kunir. Setelah itu, semoga dengan izin Allah, kau Niken Satingkeb, akan melahirkan putra dan putri yang sehat," ucap Prabu Jayabaya.

"Baik, Prabu. Terima kasih atas saran yang telah engkau berikan. Semoga Allah membalas semua perbuatan baik engkau kepada kami," ucap Sadiya. Sadiya dan Niken kemudian pulang ke rumah mereka dengan menaiki andong yang sama dengan yang mereka gunakan ketika pergi ke istana Prabu Jayabaya.

Niken dan Sadiya kemudian melaksanakan perintah Prabu Jayabaya. Ajaibnya, tak lama kemudian Niken Satingkeb hamil, dan setelah sembilan bulan mengandung, Niken Satingkeb berhasil melahirkan seorang putra yang sehat.

Sejak saat itu, apabila ada wanita yang hamil, apalagi hamil anak pertama, mereka akan melakukan hal yang sama dengan yang Niken dan Sadiya lakukan. Tradisi ini akhirnya dinamakan Tradisi Tingkeban atau Mitoni, yang diambil dari nama belakang Niken Satingkeb, yang sampai sekarang masih dilakukan orang-orang Jawa yang memohon keselamatan bagi ibu dan anak yang berada dalam kandungan.

Oleh: Alya Talitha Larasati

HikayatWhere stories live. Discover now