Asal Mula Dusun Sambiroto

140 2 0
                                    

Alkisah, terdapat sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Mataram di zaman Majapahit Brawijaya. Kerajaan Mataram merupakan salah satu kerajaan terbesar pada masanya. Kerajaan ini didirikan dan dipimpin oleh seorang raja yang gagah dan bijaksana, bernama Panembahan Senopati atau disebut juga Raja Sutawijaya.

Di masa pemerintahannya, Raja Sutawijaya berhasil membuat roda pemerintahan yang kuat, stabil, dan membuat kerajaan ini berkembang pesat sehingga kerajaan ini memiliki daerah kekuasaan yang sangat luas dan menjadi kerajaan yang cukup disegani oleh kerajaan lain. Semua daerah yang termasuk ke dalam wilayah pimpinan kerajaan sangat makmur, tanpa terkecuali. Para rakyat bekerja dengan penuh semangat karena sang raja memperhatikan kondisi mereka dengan baik pula sehingga hasil pertanian dan perkebunan melimpah, hewan-hewan ternak juga sehat dan berkualitas.

Semakin lama, semakin banyak kerajaan di sekitar Kerajaan Mataram yang mulai takluk pada Mataram karena merasa tidak mampu menyamai atau pun menandingi kekuasaannya. Namun, ada salah satu kerajaan di negeri antah berantah yang mana selalu iri dan menganggap bahwa Kerajaan Mataram tidak harus disegani. Kerajaan itu telah berupaya dengan berbagai cara untuk meruntuhkan kejayaan Mataram, tetapi belum pernah bisa. Mengetahui hal itu, Sutawijaya berpesan pada rakyatnya agar selalu berhati-hati dan waspada karena bahaya bisa saja mengancam secara tiba-tiba.

Pada suatu hari, di salah satu dusun yang berada di wilayah kerajaan terdapat seorang lelaki tua bernama Saguna. Ia merupakan salah seorang petani di dusunnya. Sawah yang dimilikinya cukup luas. Seperti petani lain, ia bertani dengan penuh semangat setiap harinya, termasuk hari itu. Ia selalu menyantap bekal yang ia bawa ketika beristirahat di gubug setelah bekerja. Ketika akan menyantap bekal, ia teringat bahwa ia lupa membawa minum.

Berlarilah ia ke arah sumur di dekat sawahnya, menimbanya dengan cepat, dan dimasukkannya ke dalam bejana. Lalu, ia kembali ke gubug dengan membawa bejana dan melanjutkan makan. Setelah selesai makan, ia meminum air dalam bejana sampai tak tersisa. Saguna berniat untuk melanjutkan bertani, namun, saat ia berdiri, seketika ia merasakan pusing dan terjatuh tidak sadarkan diri.

Sajiwo teman dekat Saguna yang kebetulan melewati gubug itu, melihat Saguna yang ia yakini pingsan. Sajiwo pun bergegas membawa Saguna untuk pulang. Setelah sadar, Sajiwo menanyakan apa penyebab ia pingsan. Saguna hanya menggeleng-gelengkan kepalanya tanda ia tak paham dengan apa yang Sajiwo tanyakan padanya.

Seolah-olah tak terjadi apa-apa sebelumnya, ia berusaha untuk bangun dan berdiri. Namun, Saguna terjatuh lagi ke ranjangnya dan bilang pada Sajiwo bahwa kepalanya terasa berputar. Dengan gesit Sajiwo meminta izin dan pergi mencarikan tabib untuk mengobati Saguna. Tak berapa lama, Sajiwo membawakan Saguna seorang tabib yang mana tabib ini adalah tabib andalan satu dusun. Setelah diobati Saguna merasa lebih baik. Putaran di kepalanya sudah tak separah sebelum tabib mengobatinya. Berterimakasihlah Saguna pada sang tabib dan Sajiwo. Pulanglah mereka karena dirasa Saguna sudah sembuh.

Keesokan harinya, matahari terbit di ufuk timur. Saguna terbangun dengan ruam merah di sekujur tubuhnya dan merasakan keadaan kulit yang begitu gatal. Ia pun mendatangi tabib yang telah mengobatinya dan meminta pertolongan atas apa yang ia derita. Tabib pun meracik ramuan obat untuk Saguna dan menyuruhnya untuk meminum ramuan itu. Bukannya sembuh, rasa gatal yang Saguna rasakan makin parah. Tabib berusaha dengan semampunya, tapi tetap tak membuahkan hasil. Para warga sedusun pun mulai berdatangan untuk menjenguk Saguna.

Berhari-hari penyakit itu tak kunjung sembuh. Ruam merah di sekujur tubuh Saguna lama-kelamaan mengeluarkan nanah. Setelah itu para warga tidak ada yang berani menjenguknya lagi atau bahkan berusaha untuk mengobatinya karena dalam waktu yang sangat singkat para warga yang telah menjenguk Saguna ikut tertular penyakit itu. Mereka merasa resah karena tak ada obat yang manjur untuk menyembuhkan penyakit mereka. Bahkan, sampai ada salah seorang dari anggota keluarga yang meninggal karena penyakit itu.

Pengawal kerajaan yang mendengar kabar tersebut langsung memberi tahu Raja Sutawijaya. Raja Sutawijaya tak hanya tinggal diam setelah mendengar kabar itu. Beliau bergegas mengumpulkan para guru dan mengadakan musyawarah. Guru-guru tersebut antara lain Eyang Guru Mertani, Eyang Demang Anupati, Eyang Surogati, Eyang Surodido,dan Pangeran Ganti. Setelah bermusyawarah, mereka pergi ke dusun itu untuk mencari penyebab munculnya wabah penyakit dan ramuan untuk mengobati para warga. Setelah sekian lama mencari tahu Eyang Demang Anupati akhirnya mendapati adanya bulu elang merah yang terkandung dalam air sumur itu . Beliau memberitahu keempat guru yang lain, apabila bulu elang merah inilah penyebabnya karena jika terminum akan menyebabkan penyakit seperti cacar dan jika tidak diobati bisa menyebabkan kematian.

Kelima tokoh menyampaikan penyebab munculnya wabah penyakit kepada Raja Sutawijaya. Raja Sutawijaya berterima kasih kepada mereka. Kelima tokoh kemudian beranggapan bahwa pengirim dari bulu elang merah adalah kerajaan di negeri antah berantah yang dari lama sudah melalukan bermacam-macam cara untuk menjatuhkan Kerajaan Mataram. Mendengar anggapan dari kelima tokoh, Raja Sutawijaya tentu tidak ingin terjadi peperangan antarkerajaan yang akan merugikan kedua kerajaan itu sendiri sehingga Beliau mengajak seluruh rakyatnya untuk mendoakan kerajaan yang telah mengirimkan racun itu, agar diberi kesadaran dan ampunan serta mendoakan para warga yang menderita penyakit agar cepat sembuh.

Sementara itu Eyang Guru Mertani yang merupakan seorang penasihat guru dari Mataram, dengan penuh kesabaran mencari bahan ramuan obat untuk mengobati penyakit yang para warga derita. Sudah dicari kesana kemari, tapi tak kunjung juga Beliau temukan. Hari semakin sore, Beliau menyempatkan diri untuk salat. Beliau pun mengambil air wudu di sungai. Saat Beliau wudu, Beliau melihat daun yang hanyut bersama aliran air sungai, yang kemudian diambillah daun itu. Sehabis wudu, Beliau bergegas untuk salat. Setelah salat Eyang Guru Mertani mulai mencari daun yang sama dengan daun yang Beliau temukan. Tak beberapa lama kemudian, Eyang Guru Mertani berhasil menemukan daun yang sama, yang ternyata adalah Daun Sambiroto. Beliau yakin bahwa daun ini bisa menyembuhkan segala macam penyakit. Benar saja, setelah Beliau meminta tabib untuk membuat ramuan dari daun tersebut, kemudian Tabib memberikan ramuan obat itu pada Saguna dan para warga lainnya. Seketika, ruam di kulit mereka pun mulai memudar. Rasa gatal yang mereka rasakan juga semakin lama semakin berkurang.

Para warga merasa senang karena sudah terbebas dari penyakit gatal yang mereka derita. Mereka berterima kasih kepada Tuhan, Raja Sutawijaya dan juga Eyang Guru Mertani karena telah berhasil menemukan obat untuk mengobati mereka. Begitu juga dengan Saguna, ia turut berterima kasih pada Eyang Guru Mertani dan memberanikan diri menghadap Sutawijaya untuk mengucapkan rasa terima kasihnya. Raja Sutawijaya pun turut senang atas sembuhnya penyakit yang diderita para warga. Beliau berpesan agar selalu bersyukur atas nikmat yang diberikan dan berdoa kepada Tuhan agar diselamatkan dari berbagai bahaya.

Sejak kejadian itu, Eyang Guru Mertani memberi nama dusun yang berada di Desa Purwomartani, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta tersebut sama seperti nama daun yang ia temukan yaitu, Sambiroto.

Oleh : AuraHeidya Septa

HikayatWhere stories live. Discover now