Asal Usul Dusun Pondok Wonolelo

108 1 0
                                    


Dikisahkan pada zaman dahulu hiduplah seorang keturunan Kerajaan Brawijaya bernama Syekh Jumadigeno. Ia mempunyai 2 saudara kandung bernama Syekh Wasibageno dan Panembahan. Ayahnya bernama Syekh Bela Belu atau yang lebih dikenal dengan sebutan Syekh Khaki. Syekh Khaki adalah putra dari Syekh Jumadil Qubro atau yang lebih dikenal dengan sebutan Pangeran Blancak Ngilo yang makamnya saat ini berada di Puncak Gunung Turgo. Syekh Jumadil Qubro sendiri adalah putra dari seorang Prabu Brawijaya V sehingga memiliki pengetahuan yang luas tentang agama Islam.

Kemudian Syekh Jumadigeno bersama dua adiknya, Syekh Wasibageno dan Panembahan berinisiatif untuk menyebarkan Agama Islam. Kemudian mereka memutuskan untuk berguru kepada sang kakek, Syekh Jumadil Qubro dan pamannya bernama Syekh Jimat.

Bertahun-tahun mereka belajar tak kenal lelah untuk menuntut ilmu, tiba saatnya untuk mereka menyebarkan agama Islam pada masyarakat sekitar. Tugas pertama mereka berjalan ke arah utara hingga tibalah mereka di sebuah pemukiman bernama Karang Asri.

Karang Asri adalah sebuah desa yang masih menganut kepercayaan pada roh-roh nenek moyang sehingga pendakwahan adalah saran terbaik untuk meninggalkan kebiasaan memuja roh-roh nenek moyang.

Perjalanan yang mereka tempuh untuk mencapai Desa Karang Asri selama tujuh hari tujuh malam. Perjalanan tersebut membuat tiga bersaudara tersebut kelelahan.

"Engkau mendengar tidak suara gemuruh air? Sepertinya di dekat sini terdapat sungai, " ucap Syekh Jumadigeno.

"Iya saya juga mendengar suara itu, mari kita ke sana !" ajak Panembahan kepada kedua saudaranya.

"Baiklah, sekalian kita berwudhu di sana karena sepertinya saat ini waktu salat asar!" seru Syekh Wasibageno serta anggukan dari saudaranya

Kemudian mereka pun berjalan terengah-engah menuju sungai yang letaknya tak jauh dari mereka. Sesampainya di sungai mereka pun segera meminum air sungai yang jernih tersebut. Dahaga mereka pun terlepaskan dan sekarang waktunya mereka bersyukur atas karunia yang telah mereka dapat hingga saat ini kepada Allah SWT.

Bergegaslah mereka untuk mengambil air wudhu, tanpa mereka sadari ada orang yang berada di dekat mereka untuk mengambil air wudhu dan menjalankan salat asar. Mereka baru menyadari orang itu berwudhu saat Syekh Jumadigeno yang jenius itu melihat gerak gerik orang tersebut yang seperti sedang melakukan wudhu.

Syekh Jumadigeno pun kemudian berjalan menghampiri orang itu dan berbicara, "Wahai saudaraku sedang berwudhu kah engkau?"

"Iya saya sedang berwudhu, Engkau muslim juga?" tanya orang tersebut

" Iya saya muslim, perkenalkan nama saya Syekh Jumadigeno dan engkau?"

" Nama saya Warmo," terang orang tersebut

"Marilah kita salat bersama Saudaraku," ajak Syeh Jumadigeno kepada Warmo dan dibalas anggukan oleh Warmo

Setelah selesai menunaikan kewajiban mereka, mereka pun berbincang-bincang tentang Desa Karang Asri. Ternyata di desa tersebut hanya Warmo dan keluarganya saja yang telah beragam Islam. Kemudian Syekh Jumadigeno beserta 2 saudaranya diajak tinggal bersama keluarga Warmo.

Warmo mempunyai anak bernama Sri Kedhang Wulan memiliki paras yang ayu rupawan keturunan sang ibu yang bernama Warni. Setelah bekenalan dengan keluaga Warmo kemudian mereka pun berdiskusi cara menyebarkan ajaran agama Islam agar dapat diterima dengan baik.

Akhirnya Syekh Jumadigeno, Syekh Wasibageno, dan Panembahan memutuskan untuk berdakwah seperti Walisongo yaitu menggunakan wayang sebagai perantara dalam meyebarkan agama Islam.

Wayang mereka bercerita tentang seseorang yang sedang mengembara dan hidupnya mulai terancam oleh situasi seperti hampir diterkam binatang buas atau hampir dimangsa berbagai hewan, kemudian orang tersebut berdoa kepada Allah SWT. agar dimudahkan jalannya dan ditunjukan jalan yang benar agar selamat dunia akhirat.

Perlahan-lahan warga mulai mengetahui ajaran agama Islam dan mencoba mempelajari agama tersebut, sebelum secara pasti mengucapkan dua kalimat syahadat syarat untuk masuk Islam. Kemudian banyak orang masuk agama Islam secara signifikan karena ajaran agama islam yang mudah dipahami dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari

Tak sampai di situ ternyata Panembahan diam-diam jatuh cinta terhadap Sri Kedhang Wulan dan mereka pun menjalin hubungan asmara. Kemudian beberapa bulan kemudian Sri Kedhang Wulan dipersunting Panembahan menjadi istrinya.

Tujuan hidup Panembahan sekarang bukan hanya menyebarkan ajaran Islam, tetapi dia sudah mempunyai tanggung jawab menjadi seorang suami yang berakhlak. Sehingga Panembahan memutuskan untuk tidak pergi mengembara bersama Syeh Jumadigeno dan Syeh Wasibageno.

Setelah menjalani beberapa tahun di Desa Karang Asri mereka memutuskan mengembara lagi. Kemudian atas dasar kesepakatan bersama, Syekh Jumadigeno dan Syekh Wasibageno berpisah arah. Syekh Wasibageno berjalan ke arah timur menuju Hutan Dwarawati dan Syekh Jumadigeno berjalan ke arah barat menuju Hutan Marjati.

Sesampainya di Hutan Marjati, Syeh Jumadigeno duduk dibawah pohon kemudian melantunkan ayat suci Al quran. Kemudian samar-samar orang pencari kayu bakar bernama Darno mendengar lantunan tersebut dan tertarik. Sehingga Darno berjalan menuju sumber suara dan bertanya "Apa yang sedang kau baca ?".

"Ini adalah Al quran, memangnya ada apa Saudaraku?" tanya Syekh Jumadigeno.

"Apakah aku boleh mempelajarinya?"

"Tentu saja, Saudaraku," ucap Syeh Wasibageno dan ia pun mulai mengajari ilmu-ilmu Al quran kepada Darno sehingga Darno tertarik untuk masuk Islam.

Beberapa hari kemudian, Darno datang menuju gubuk yang telah dibangun oleh Syekh Jumadigeno. Ia mengabarkan bahwa anaknya terserang demam, Darno sudah berusah keras mencari obat yang dapat menyembuhkan anaknya namun sampai sekarang anaknya masih sakit juga.

"Apakah kau punya kekuatan yang dapat menyembuhkan anakku?" tanya Darno

"Tidak, hanya seizin Allah SWT. yang dapat menyembuhkan anakmu," jawab Syeh Wasibageno dengan tenang.

"Tolong sembuhkan anak saya!" seru Warno, kemudian Syekh Jumadigeno mulai membaca doa dan meminta tolong kepada-Nya agar anak itu dapat disembuhkan. Selang beberapa waktu anak itu pun sembuh dan Warno pun sangat berterima kasih dan berniat untuk masuk Islam agar ditunjukkan ke jalan yang benar bukan jalan yang sesat.

Warno pun memberi tahu kejadian ini kepada masyarakat di desanya yang masih belum tersentuh oleh agama sehingga banyak masyarakat tertarik masuk Islam dan berguru pada Syeh Jumadigeno. Sehingga lama kelamaan pengikut Syekh Jumadigeno banyak, bahkan banyak orang dari luar wilayah yang belajar dan tinggal di tempat tersebut. Oleh karena itu Syekh Jumadigeno mendirikan sebuah pondok untuk menampung para santrinya.

Berdasarkan hal itu tempat ini kemudian dikenal dengan nama Dusun Pondok Wono Malelo. Lama kelamaan nama ini berubah menjadi Pondok Wonolelo. Nama Wonolelo akhirnya lekat juga pada nama Syekh Jumadigeno sehingga ia dikenal dengan nama Ki Ageng Wonolelo. Gelar Ki Ageng diberikan kepadanya karena ialah yang membuka dan menguasai kawasan Wonolelo di masa itu. Sehingga setahun sekali yaitu pada bulan Sapar selalu diadakan peringatan saparan untuk mengenang jasa dan kebesaran Ki Ageng Wonolelo.

Oleh: Dyah Ajengkusumaningrum 


You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 12, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

HikayatWhere stories live. Discover now