Batu Gendhong

58 3 0
                                    

Batu Gendhong berada di Potrowangsan, Candibinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta. Konon katanya, tahun 1668 Gunung Merapi meletus dengan dahsyatnya. Pohon dan rumah banyak yang tersapu oleh lahar dan awan panas. Hutan terbakar habis, perkampungan hancur lebur sehingga masyarakat yang tinggal di daerah sekitar gunung harus diungsikan. Namun, banyak juga masyarakat yang belum sempat menyelamatkan diri hingga menjadi korbannya.

Setelah meletus mengalirlah lahar dingin. Lahar membawa material berupa batu besar yang sangat panas. Kayu-kayu yang sudah terbakar turut mengalir dengan deras menyusuri tebing tinggi. Sebagian batu dan tanah berhenti di sepanjang sungai-sungai besar di lereng Merapi yang menjadi jalur lahar.

Jalur Sungai Boyong telah berpindah sebanyak 3 kali karena bencana alam, itulah latar belakang dinamakan Kali Boyong. Istilah Kali Boyong berasal dari bahasa Jawa boyongan atau berpindah dengan membawa semua miliknya. Jalur Kali Boyong pertama berada di Potrowangsan, Candibinangun, Pakem. Karena banyak batu yang menghalangi, jalur Kali Boyong berpindah ke tebing sebelah baratnya dengan jarak kurang lebih 150 meter. Karena bercabang-cabang dan saat itu terjadi banjir, Kali Boyong berpindah lagi tepatnya di sebelah timur Dusun Tawangrejo, Purwobinangun hingga sekarang.

Konon, banjir lahar pascaerupsi itu melewati sungai boyong yang pertama yang terletak persis di sebelah barat desa Potrowangsan. Di sana, berdiri kokoh dua batu yang saling bergendongan akibat lahar. Banyak orang yang bilang bahwa lahar yang terjadi saat itu mengalir sampai ke area Candi Borobudur, Jawa Tengah.

Batu gendhong terletak di Jurang Malang. Jurang malang adalah sebutan dari penduduk desa untuk jalur Kali Boyong yang pertama. Oleh sebagian orang, batu tersebut dianggap batu yang ditunggui. Konon katanya, batu itu pernah diturunkan, tetapi batu itu kembali bergendongan. Hingga sekarang, belum ada yang menurunkan batu itu.

Konon katanya, ada seorang nenek yang memiliki bayi tertimbun di bawah batu gendong tersebut. Batu besar itu meremukkan semua tulangnya, nenek dan bayi itu meninggal dan membusuk di sana. Hingga sekarang, hal ini tidak pernah terklarifikasi benar atau salahnya. Beberapa warga sering merinding saat sedang lewat sendirian. Mungkin hal ini yang menjadi latar belakang sebutan bahwa Batu Gendong itu angker. Ditambah lagi, tumbuhnya pohon pule yang daun dan cabangnya berbentuk menyerupai burung hantu di pangkal tebing. Menurut orang Jawa, pohon pule dinilai sebagai tempat tinggal para makhluk halus.

Bagian sungai yang tertimbun oleh material padas atau lapisan tanah yang keras dibangun sebuah peternakan. Bekas aliran Kali Boyong itu menjadi lebih sempit dari sebelumnya. Kalaupun diikuti arusnya, yang ditemukan hanya sungai-sungai kecil yang tidak dialiri air.

Kini, ada beberapa orang yang meletakkan sesajen di sana untuk tujuan keberuntungan. Katanya, mereka akan memenangkan taruhan atau sesuatu apabila meletakkan 'makanan' untuk para makhluk halus di batu itu. Penduduk desa yang melewati jalan di sebelah batu gendhong saat malam hari akan membunyikan klakson. Hal itu sudah dilakukan sejak lama karena konon apabila tidak membunyikan klakson atau mengucapkan salam akan diikuti atau hanya sekedar diganggu. Pencahayaan yang minim juga membuat orang-orang yang melewatinya merinding.

Di pangkal tebing juga terdapat bangunan seperti pos ronda yang sering disebut werkel. Konon, ada yang pernah melihat seorang nenek-nenek berambut putih yang memakai pakaian tradisional zaman dahulu sedang duduk di tempat duduk yang terbuat dari semen persis di sebelah utara batu gendong sambil menggendong bayi di tengah malam. Padahal rumput-rumput di sekitar batu gendong sangat rimbun karena jarang ada yang berani membersihkannya, karena takut dengan maklhluk halus atau dengan binatang yang mendiami watu gendong.

Di jalan yang berada tepat di utara batu gendong, warga dapat melihat jelas penampakan Gunung Merapi. Sekarang, jalur Kali Boyong di sebelah selatan watu gendong sudah dialihfungsikan menjadi lahan pertanian. Karena tanah yang ada di daerah sekitaran batu gendhong adalah hasil erupsi, tanahnya menjadi tanah milik Kraton Yogyakarta. Sawah-sawah tersebut ditanami dan dirawat oleh penduduk sekitar. Mereka menanam tanaman sesuai dengan kesepakatan hasil musyawarah mereka mengenai pembagian lahan. Tanaman yang ditanam diantaranya seperti padi, cabai, salak dan juga banyak yang ditanami kalanjana sebagai makanan utama sapi, kambing, ataupun kerbau. Namun, banyak juga tumbuh pohon ubi, salak, pisang dan pohon kelapa. Banyak batu besar di sawah-sawah tersebut yang juga bawaan dari lahar pasca-erupsi Gunung Merapi. Namun, tidak ada yang seunik Batu Gendong.

Bagian utara Batu Gendong telah dibangun sebuah jalan yang kedepannya akan dijadikan jalan kabupaten. Sedangkan di utara jalan, jalur sungai sudah tertutup tebing yang rimbun. Tetapi, masih ada cerukan seperti sungai yang apabila terjadi hujan akan membuat air hujan menggenang.

Batu Gendong yang terletak di sebelah barat Dusun Potrowangsan, RT 002, RW 024, Candibinangun, Pakem, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta ini menjadi tempat yang menorehkan sejarah bagi para penduduk di Dusun Potrowangsan dan sekitarnya. Meninggalkan kesan unik bagi para warga yang di sekitaran Batu Gendong.

Oleh: Dian Kartika Utami

HikayatWhere stories live. Discover now