Saat sebelum berdiri Republik Indonesia atau sebelum adanya kemerdekaan RI 1945, Indonesia masih berbentuk kerajaan-kerajaan. Seperti beberapa kerajaan yang berada di sekitar Jawa Tengah dan Jogjakarta yaitu, Kerajaan Demak yang dipimpin oleh Raden Patah sebagai rajanya, kerajaan Mataram Islam yang dipimpin oleh Sultan Agung sebagai rajanya dan, kerajaan-kerajaan lainnya.
Dalam perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Bangsa Indonesia mengalami berbagai pertempuran-pertempuran hebat, misal yang ada di daerah Jogjakarta adalah Perang Diponegoro yang terjadi antara tahun 1825 sampai tahun 1830 yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro yang menentang kebijakan pemerintahan kolonial Belanda.
Di Jogjakarta tepatnya di Kabupaten Sleman, Desa Candibinangun terdapat sebuah dusun yang penuh akan misteri yaitu Dusun Bulus. Sampai saat ini belum ada orang yang mengetahui secara pasti mengapa dusun itu dinamakan dengan Dusun Bulus. Mungkin dinamakan Dusun Bulus karena dulunya dusun itu adalah Kerajaan Bulus atau mungkin dusun itu banyak kura-kuranya (bulus dalam bahasa Indonesia berarti kura kura) saya belum mengetahui secara pasti, dan belum ada seseorang yang mengetahui secara pasti mengapa dinamakan Dusun Bulus, sehingga tidak ada cerita masyarakat yang berkembang tentang asal- usul Dusun Bulus.
Konon di Dusun Bulus pada sekitaran tahun 1901 ada seorang kiai yang datang ke Dusun Bulus dan menikahi wanita dari Dusun Bulus dan menetap di dusun tersebut. Kiai itu sangat hebat, ilmunya sangat tinggi, dan kyai itu menyebarkan Agama Islam di Dusun Bulus yang sebelumnya warga Dusun Bulus belum mengetahui apa yang namanya agama.
karena di Dusun Bulus belum ada tempat untuk sholat berjamaah maka kiai tersebut berinisiatif untuk membuat tempat ibadah. Pada suatu hari Kiai tersebut mengumpulkan warga setempat untuk berdiskusi. " Bapak-bapak, karena di tempat kita belum ada tempat untuk beribadah, bagaimana jika kita membuat tempat ibadah?" tanya kiai tersebut.
" Bagaimana caranya?" tanya salah satu warga yang bernama Karso.
" Dengan bergotong royong," jawab kiai tersebut.
" Bergotong royong bagaimana?" tanya salah satu warga yang bernama Karman.
" Ya, kita saling bahu membahu, misalnya yang punya pasir membantu dengan pasir, yang punya bambu dengan bambu, yang punya uang ya membantu dengan uang," jawab kiai tersebut.
" Pak Kiai, saya tidak punya apa-apa, saya tidak punya pasir, saya tidak punya bambu, dan saya tidak punya bahan lainnya, apa yang bisa saya bantu?" tanya salah satu warga yang bernama Kerto.
" Jangan khawatir Pak Kerto, Pak Kerto bisa membantu dengan tenaga dan pikiran semampu bapak, yang penting tulus dan ikhlas," jawab kiai tersebut.
Setelah berdiskusi akhirnya warga bersepakat untuk membuat langgar atau surau dengan bergotong royong. Langgar atau surau dalam keseharian sekarang orang menyebutnya dengan nama mushola, namun mushola yang dibangun bersama itu kini telah direnovasi menjadi sebuah masjid yang bernama Masjid Sunan Kalijaga.
Kiai itu mengajarkan caranya agar hidup bahagia setelah terjadinya kematian (kehidupan di akhirat) dengan cara mengajari warga membaca Al-quran, cara melakukan shalat yang benar, cara melakuakan puasa ,dan untuk kehidupan di dunia nyata kiai itu mengajarkan cara bercocok tanam, cara mengawali pembuatan rumah, mengajari bertingkah laku yang baik dan yang lainnya.
Kiai itu bernama Zakaria yang sering dipanggil Djokaryo. Kiai itu berasal dari Pondok Pesantren Mlangi yang berada di daerah Godean, Sleman. Pondok Pesantren Mlangi adalah Pondok Pesantren yang didirikan oleh Kiai Nur Iman atau kakak dari Hamungkubuwono 1.
Pada sekitaran tahun 1911, dulu ada kejadian pencurian di Dusun Bulus, pada saat pencuri akan melakukan kejahatannya, tiba-tiba ada salah satu warga yang melihat, dan salah satu warga itupun berteriak,"Maling ono maling." sehingga warga yang lainnya berdatangan dan ingin menangkap pencuri tersebut lalu para warga mengejar pencuri tersebut, tetapi pencuri tersebut lolos dari kejaran warga, namun akhirnya pencuri tersebut menyerahkan diri karena pencuri tersebut telah kelelahan mencari jalan keluar dari Dusun Bulus.
Ternyata dulu, jika ada pencuri atau yang mau melakukan kejahatan di Dusun Bulus, pencuri atau penjahat tersebut bisa memasuki wilayah dusun itu tetapi tidak bisa keluar dari dusun itu, sehingga warga di dusun itu merasa aman karena keamanan di dusun tersebut terjamin.
Konon dusun tersebut punya misteri tersendiri, mungkin ada hubungannya dengan adanya kiai tersebut, karena pada tengah malam-malam tertentu kiai itu berjalan mengelilingi dusun sambil melakukan tapa bisu (tanpa bicara), dan kadang-kadang kiai itu bersemedi (berdiam diri) di Sungai Boyong (Sungai Boyong terletak di sebelah baratnya Dusun Bulus) tanpa sepengetahuan warga.
Sekitaran tahun 1932 atau pada masa pemerintahan Kolonial Belanda, disekitaran Kampung Bulus terjadi pembakaran-pembakaran kampung, seperti Kampung Samberembe (Kampung yang terletak di sebelah utaranya Kampung Bulus) yang telah dibuminghanguskan oleh pemerintahan Kolonial Belanda.
Sekitaran tahun itu pula di sekitaran Dusun Bulus terjadi pertempuran-pertempuran kecil. Para tentara atau gerilyawan bersembunyi di Dusun Bulus karena para tentara atau gerilyawan merasa nyaman dan merasa aman.
Konon, Dusun Bulus jika dilihat oleh para musuh atau Kolonial Belanda terlihat sepi tidak berpenghuni. Kadang terlihat seperti kuburan, kadang terlihat seperti hutan belantara, dan kadang para musuh atau Kolonial Belanda merasa takut dan merinding jika akan memasuki wilayah dusun tersebut. Padahal di dalam dusun tersebut banyak penduduknya dan banyak tentara atau gerilyawan yang bersembunyi di dusun tersebut.
Para penduduk di dusun itu juga heran mengapa Kolonial Belanda membiarkan warga begitu saja. Ternyata tanpa sepengetahuan warga, kiai itu diam-diam melakukan ritual-ritual sambil membaca doa-doa untuk keselamatan penduduk desa tersebut.
Pada sekitar tahun 1939 kiai tersebut melakukan hal-hal yang aneh, pada tengah malam kiai tersebut sering berendam di sungai sambil membaca mantra-mantra, pada siang hari kiai tersebut sering meloncat dari pohon ke pohon, itupun yang melihat hanya orang-orang tertentu dan kadang jika diajak bicara, kiai tersebut diam saja tidak menjawab seperti orang yang sedang bingung.
Di tahun itu pula, kiai tersebut memerintahkan anaknya yang bernama Dimejo untuk bersih-bersih. " Jo, Dimejo, kesini sebentar!" kata kiai tersebut.
" Ada apa, Pak?" tanya Dimejo.
" Ajak saudara-saudaramu yang lainnya untuk bersih-bersih rumah!" kata kiai tersebut.
" Mengapa, Pak?" tanya Dimejo.
" Karena besok akan ada tamu banyak yang akan datang," jawab kiai tersebut.
" Ya, Pak, akan saya bersihkan," kata Dimejo.
Tidak lama kemudian Dimejo dan saudara-saudaranya membersihkan rumah atas perintah ayahnya. Saat sedang bersih-bersih, kiai tersebut meminta salah satu anaknya yang bernama wangsa untuk mengambilkan air putih, tetapi setelah air putih sudah diberikan, air putih itu tidak diminum, namun air putih tersebut malah diguyurkan di badannya sendiri, lalu tiba-tiba kiai itu meninggal dunia dan anak-anaknya terkejut karena tidak menyangka kalau itu permintaanya yang terakhir.
Dan 6 tahun sesudah kyai itu wafat Indonesia merdeka. Dan warga Dusun Bulus pun hidup nyaman, aman, sejahtera, dan damai hingga saat ini.
Oleh: Damar Alam
YOU ARE READING
Hikayat
القصة القصيرةKumpulan cerita Hikayat berlatar belakang berbagai daerah di Jogja Dibuat oleh 32 orang generasi 2000-an