1

14K 635 23
                                    

Hujan gerimis tak hentinya turun sejak kemarin malam. Langit mendung, gelap, tak ada harapan matahari akan memunculkan dirinya hari ini.

Sebuah rumah bercat putih gading di perumahan kota Bandung tampak lebih ramai dari hari biasanya. Banyak orang berlalu-lalang dengan pakaian nuansa hitam.

Langit yang gelap, hujan gerimis yang tak  kunjung berhenti dan rasa sakit yang tak terungkapkan semakin membuat hari itu suram.

Tatapan nanar pada sepasang suami-istri tak terelakkan. Siapapun pasti akan iba pada keduanya. Tampak begitu rapuh, tampak begitu lemah, dan tampak begitu menyedihkan.

"Tiara, udah dulu nangisnya ya. Mbak takut kamu malah jadi sakit kalau begini. Dari kemarin kamu belum makan hingga siang ini. Ikhlas, kamu harus ikhlas supaya Ditya bisa tenang di alam sana." ucap seorang wanita pada perempuan bernama Tiara, adiknya.

Tiara menggeleng lemah. Bagaimana bisa ia menelan makanan dan minuman sementara di depan matanya terbaring kaku Ditya, putra semata wayangnya yang masih kecil, masih berumur 5 tahun.

Semua orang memintanya ikhlas, semua orang memintanya sabar, semua orang memintanya tegar, semua orang memintanya kuat... Lalu, mereka, orang-orang itu, sanggupkah mereka kehilangan buah hati? Anak, yang dikandung selama 9 bulan, yang harus ia melewati masa mual-muntah hebat di awal kehamilan, yang dilahirkan bertaruh nyawa, yang diberi ASI tanpa kenal waktu, yang dibesarkan dengan cinta dan kasih sayang melimpah...

Tiara menggeleng lagi dengan air mata menetes lagi.

Pria yang mendekapnya semakin mempererat pelukannya dan menitikkan air mata.

"Bukan cuma kamu yang kehilangan sayang... Aku pun sama. Aku pun hancur, tak tersatukan lagi... Tapi mbak Kayla benar, kamu harus makan dan mencoba ikhlas."

Tiara menggeleng lagi, kali ini ia menepis kasar tangan suaminya.

"Kamu dimana waktu aku telponin mas? Kamu kemana waktu Ditya butuh kamu?" Tiara menatap Randi kecewa.

"Mas minta maaf. Harus berapa kali mas ucap maaf, Tiara. Kamu tahu mas meeting penting setiap akhir bulan. Mas salah sudah mengabaikan telpon dari kamu."

"Ditya terus memanggil kamu mas. Ditya terus memanggil Papa, hingga nafas terakhirnya di pelukanku." ucap Tiara lemah dengan berlinang air mata.

Ya. Penyesalan Randi seolah tak ada artinya sekarang. Panggilan telepon Tiara yang ia anggap seperti bawelan biasanya ternyata kali ini bukan sekedar meributinya agar ingat makan dan istirahat.

Wa dan sms pun ia abaikan karena pusingnya menghitung keseimbangan pemasukan dan pengeluaran perusahaan tempatnya bekerja dimana dia adalah Manager keuangan.

"Jangan bertengkar di depan jenazah Ditya Tiara-Randy." pinta seorang perempuan yang jongkok dekat Kayla.

"Sarah... Aku enggak bisa..." tangis Tiara lagi entah menyalahkan siapa atas kehilangan putranya.

Sarah memeluknya. "Kamu bisa, Ra. Kamu bisa. Kamu harus bisa. Sekarang kamu ikut aku ke belakang sebentar. Makan. Minum. Kamu harus. Jika tidak, kamu tidak akan bisa mengantarkan Ditya ke pemakaman." pinta Sarah.

Tiara mengangguk dan menurut.

Randi bersyukur atas kehadiran Sarah. Dia adalah sahabat terbaik yang dimiliki Tiara. Dia juga sudah seperti saudari bagi istrinya.

"Thanks." ucap Randi pada Sarah tanpa suara yang dibalas anggukan kepala.

---

Ibu mana yang sanggup melihat anaknya di dalam peti dan tertutup rapat tanpa bisa disentuh lagi.

Someday... HAPPY. (SEGERA DI HAPUS TGL 17 AGUSTUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang