Jimin itu kadang-kadang seperti orang bodoh. Bertingkah konyol dengan wajah berserinya. Tidak peduli sekali pun dikatakan gila oleh orang yang tanpa sengaja melihat tingkahnya.
“Hey, ayo. Kau yakin tidak ingin masuk ke dalam kamera ajaibku?” tawaran menggiurkan dari sang pemilik kamera yang sibuk memotret dirinya sendiri dengan rasa percaya diri tinggi dan berbagai gaya aneh.
Seolhee menggigit pelan bibir bawahnya, tergoda untuk tertawa keras dan ikut bergabung bersama kekonyolan ekspresi wajah Jimin. Tapi ia masih berusaha keras menahan diri. Pemuda itu masih sibuk, kali ini menunjukkan pada kamera gaya andalannya yang lain—memperlihatkan lipatan-lipatan pada bagian bawah lehernya. Konyol sekali.
“Jimin hentikan,” Seolhee meminta, takut tidak kuasa menahan dirinya. Tapi Jimin tidak mengindahkan permintaannya, kembali menunjukkan gaya andalannya yang luar biasa mengundang tawa.
Alis berkerut, hidung mengerucut, bibir terbuka lebar, pada akhirnya sukses merobohkan pertahanan Seolhee. Perempuan itu sudah tidak mampu menahan lebih lama tawanya. Lalu Jimin seketika menghentikan aksi konyolnya. Suara merdu yang sedari tadi ia tunggu akhirnya menyapa rungunya juga.
Untuk beberapa saat Jimin hanya diam, menatap senang senyuman di bibir Seolhee yang ia nantikan sejak malam kehancuran wanita itu. Sudah berapa lama ia tidak melihatnya? Rasanya rindu sekali.
“Jadi mau bergabung?”
Seolhee menghentikan tawanya, mengusap pelupuknya yang sedikit berair. Meski ragu, Seolhee mengangguk kecil, membiarkan Jimin membimbingnya dari awal. Membiarkan suaminya memenuhi janjinya, menjaga dan mengembalikan kehidupannya.
Ia tidak ingin egois dengan mengorbankan pemuda itu, tapi hanya Jimin yang mampu menghidupkannya juga menghapuskan ingatannya pada malam terkutuk itu. Jadi kali ini biarkan ia bersikap egois.
“Tunjukkan ekspresi terbaikmu, aku akan memotretmu terlebih dahulu. Kau akan menyesal jika melewatkan pemandangan di belakangmu itu.”
Seolhee melihat sekilas pemandangan di belakang punggungnya. Hamparan padang rumput yang begitu menakjubkan yang tidak dapat ia temui di perkotaan. Lalu dengan malu-malu ia mengangkat sebelah tangannya, menunjukkan kedua jari di sebelah pipinya.
“Yak, bukan yang itu,” kata Jimin menginterupsi.
“Apa?”
“Bukan gaya yang itu. Tunjukkan gayamu yang lain.”
“Yang mana?”
“Yang seperti ini,” kata Jimin sembari mencontohkan gaya yang diinginkan.
“Yaaa, tidak mau. Itu konyol, Jimin.”
Seolhee menolak tegas saran Jimin. Bagaimana tidak menolak, pria itu memintanya menunjukkan gigi-gigi atasnya seperti orang bodoh. Percuma difoto, ia pasti akan terlihat jelek.
“Itu gaya terbagus, Seolhee. Sebuah seni.”
Perempuan itu berdekap tangan, dengan bibir yang cemberut kedepan karena kesal. Jimin seperti sedang mempermainkannya.
“Ah gaya seperti itu juga bagus,” kata Jimin yang tanpa aba-aba langsung memotret Seolhee dengan kameranya.
“Yaaa,” pekik Seolhee kala mendengar bunyi kamera memotret. “Aku belum siap!”
“Tidak apa-apa, ini bagus.”
“Hapus! Pasti jelek, Jimin.”
Jimin menggeleng kuat. “Tidak mau. Semua yang masuk dalam kamera ajaibku tidak boleh dikeluarkan secara paksa.”
Pemuda itu masih sama seperti dulu, begitu jail terhadap Seolhee. Meski begitu, Seolhee justru senang. Setidaknya Jimin tidak memperlakukannya berbeda meski dirinya tidak memiliki apa pun lagi untuk diberikan pada suaminya. []
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGELIC✓
أدب الهواة❝Jika kau terluka, ingatlah untuk selalu datanglah padaku. Gunakan aku, sebagai penawarmu.❞ Started : 12 October 2018 Published : 13 October 2018 (KST) [Special fanfiction for Jimin's birthday] Copyright © Vdr_wings 2018