CHAPTER 3

5K 1K 27
                                    


“Kau baik-baik saja?” Jimin bertanya, memastikan jika wanita yang menyandang status sebagai istrinya beberapa jam yang lalu dalam keadaan baik.

“Y-ya.” Hanya jawaban singkat, namun sudah mampu melegakan hati Jimin. Setidaknya ia bisa kembali menyetir dengan tenang kendati Seolhee tidak mau menatap atau melirik singkat ke arahnya.

Mata berbinar wanita itu tertuju pada pemandangan indah yang tersaji sepanjang perjalanan menuju rumah barunya. Mengabaikan tatapan khawatir yang diam-diam Jimin berikan disela pekerjaannya membawa mobil yang mereka tumpangi dengan selamat.

“Mau berhenti sebentar?” Seolhee menoleh, berhasil pikir Jimin. “Pemandangannya indah, mungkin aku bisa mengambilkan beberapa gambar untukmu.”

Saat hanya berdua dengan Seolhee, Jimin memang terbiasa berbicara santai dengannya. Dulu Seolhee yang meminta, menganggap Jimin sebagai teman terbaiknya. Tapi sekarang Jimin berharap statusnya bisa meningkat, tidak ingin lagi dilihat hanya sebatas teman. Egoiskah keinginannya?

“B-berhenti ....” Meski terbata-bata Jimin mampu mendengarnya, Seolhee selalu tidak mampu menolak keindahan alam yang jarang dilihatnya, pun ia segera menepikan mobil sesuai permintaan wanitanya. Bergegas keluar dan membantu istrinya yang kesulitan karena gaun pengantinnya.

“Tunggu sebentar,” pinta Jimin yang langsung membuka kembali pintu mobil, mencari-cari benda kecil yang selalu ia bawa.

Pria itu langsung tersenyum kala menemukan barang yang ia cari. Sebuah kamera usang yang dibelinya dengan hasil keringatnya sebulan menjaga Seolhee.

“Berposelah,” ucap Jimin seraya menunjukkan kamera ditangannya. Biasanya Seolhee akan langsung menunjukkan pose andalannya saat melihat kamera, tetapi kini ia justru membalikkan punggung. Tidak ingin melihat benda yang dulu begitu ia sukai.

“Aku tidak ingin difoto.”

Jimin tersentak, menatap punggung kecil yang mulia bergetar. “Kenapa?” tanyanya pelan.

“Tidakkah kau lihat aku? Aku ... aku kotor, Jimin.”

Bola mata Jimin membesar, tidak percaya akan apa yang didengarnya. Tangan kanannya mengepal kuat, sungguh ia benci sekali mendengarnya. Tidak ada yang boleh merendahkan Seolhee-nya, tidak orang lain, tidak juga sang pemilik nama.

“Siapa yang mengatakan hal bodoh seperti itu? Kau sempurna Seolhee!”

“Tidak!” bantah Seolhee dengan cepat. “Aku kotor, Jimin. Hina, menjijikan ....”

Air mata perempuan itu hampir menetes, tapi punggungnya yang dibalik paksa lebih cepat dilakukan Jimin. Menatap tajam genangan yang terlihat samar-samar, benci bukan main.

“Berapa kali aku harus mengucapkannya, Seolhee?!” Seolhee terkesiap, tatapan tajam serta remasan kuat dibahunya menunjukkan betapa marahnya pemuda di hadapannya. “Lupakan semuanya, apa pun yang terjadi lupakan saja. Kau dengar aku? Ini perintah Seolhee. Perintah dari seorang suami.”

“Jimin ....”

Perlahan Jimin melepaskan remasannya, menatap teduh bola mata yang begitu ia sukai. Senyuman mengembang di bibirnya, secara sempurna menutupi kesakitan yang sebenarnya ia rasa. Ia menarik napas, meyakinkan diri jika ia mampu mengembalikan senyuman wanitanya.

“Seberapa pun kau tidak mencintaiku ... aku tidak peduli. Tapi sekarang kau istriku, jadi tolong dengarkan ucapanku.” []

ANGELIC✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang