BAB [1B]

2.2K 109 15
                                    

"Kau bangun, Alan. Kau bangun!" Teriakan tersebut diucapkan ibunya dengan penuh suka cita.

Alam melihat Peter mendengarkan ibunya sambil tersenyum, lalu saat itulah Alan menyadari jika dirinya ternyata sudah membuka mata sejak tadi.

"Aku senang akhirnya kau kembali," bisik Peter dengan wajah cerah. Sebelum akhirnya ia keluar ruangan untuk memanggil dokter yang bertanggung jawab atas perawatan kakaknya.

🦋🦋🦋

"Ada apa?" Peter bertanya pada kakaknya yang sudah bisa bangun dari tempat tidur, dan saat ini tengah berdiri di depan jendela sambil menatap keluar dengan sorot mata merenung. "Apa kau baik-baik saja?" Ia terdengar khawatir, mendekat dengan hati-hati seolah gerakannya akan membuat Alan terbang seperti burung yang dikejutkan. Sudah satu minggu sejak Alan bangun dari komanya, tubuhnya masih menjalani beberapa latihan fisik agar bisa digerakan dengan baik. Dan Peter melihat kakaknya itu berubah. Dia terlihat lebih sering terlihat tidak fokus dan pikirannya seolah tidak ikut bersamanya.

"Apa yang terjadi?" Akhirnya Alan menjawab, ia menoleh hanya untuk mendapati tatapan penuh simpati milik Peter. Adiknya, dan dirinya kini sudah berada di dunia yang seharusnya. Tapi entah kenapa Alan merasakan tusukan nyeri di dalam dada; setiap kali dirinya mengingat sosok Lilian.

Peter menarik napas panjang dan menghembuskannya sebelum menjawab. "Kami kira sudah tidak ada harapan," tatapan menerawang pada masa tiga enam silam. Setelah tidak mendengar tanggapan apapun dari kakaknya, akhirnya Peter menoleh dan melihat pertanyaan tidak terucap di wajah Alan. "Aku rasa kau tidak mengingatnya."

"Ya," aku Alan. "Aku bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi di sini." Ia terdengar sedih.

"Arnold merasa sangat bersalah."

"Wigburg?"

"Ya," Peter mengangguk. "Kau pergi saat menjalankan misi untuk membantu sepupu kita itu. Dan pesawat yang kau tumpangi dinyatakan hilang, setelah sebelumnya pilot melapor jika ada kerusakan di mesin pesawat. Kami semua beranggapan kau sudah meninggal." Ia menarik napas sejenak sambil mengusap pelan pelipisnya yang terasa nyeri. Menceritakan kenangan yang menyakitkan itu membuat kepalanya terasa seperti digilas kereta kuda bermuatan penuh. "Arnold dan kami semua berkeras melalukan pencarian, meskipun tahu jika semua itu akan sia-sia. Beberapa hari kemudian para penumpang pesawat ditemukan meninggal."

Alan tidak berani berkomentar, ia hanya menunggu supaya bisa mendengar cerita lengkapnya.

"Bangkai pesawat tidak bisa diangkat karena jatuh ke perairan yang dalam, sementara itu jasad para penumpang pesawat satu persatu mulai ditemukan," Peter menelan ludah dengan susah payah, berusaha membasahi tenggorokannya yang terasa kering dan berat. Seolah seseorang menjejalkan sesuatu ke dalam bagian tubuhnya tersebut. "Kami terus melakukan pencarian, terutama Mother."

Bayangan sedih melintas di wajah Peter yang terakhir kali masih dilihat Alan sebagai anak-anak. Tapi sejak ia hidup di dunia lain—dunia yang tidak ia ketahui—dan melihat sosok Peter sebagai seorang kakak serta sudah menikah dan memiliki anak. Hal tersebut membuat Alan menatap adiknya itu dengan cara pandang baru, ia kini menyadari jika Peter sudah berusia 26 tahun, dan adiknya itu telah menjadi pria dewasa yang tampan serta segar bugar.

"Aku minta maaf," Alan merasa harus mengatakannya.

"Oh ini bukan salahmu," Peter cepat-cepat meyakinkan. "Kami semua memang berharap setidaknya bisa membawamu pulang—meskipun dalam kondisi yang tidak biasa. Tapi setelah beberapa bulan terus mencari dan berharap akan menemukan sesuatu tentangmu, aku dan Arnold dengan berat hati terpaksa mulai menyerah. Aku minta maaf."

Alan mendengar ketulusan dalam suara adiknya.

"Aku tidak akan menyalahkanmu ataupun sepupu kita Wigburg."

"Arnold merasa sangat terpukul."

"Aku rasa itu sudah lebih dari cukup," Alan tersenyum untuk menyatakan jika keputusan Peter dan Arnold untuk menyerah bukanlah masalah besar. "Kalian hanya berpikir realistis. Aku juga pasti akan bersikap seperti kalian jika dalam posisi tersebut. Dan semoga saja Tuhan melindungi kita semua." Ia begidik ngeri dan tidak bisa membayangkan akan kehilangan seseorang yang dikenalnya—seperti Peter—dalam kejadian tragis dan mengerikan seperti itu.

"Tapi Mother tidak menyerah," Peter mengumumkan hal tersebut. Ia menatap Alan dengan tatapan ganjil yang sulit untuk dimengerti. "Mother tidak pernah sedetikpun menyerah kepadamu, wanita tua itu bahkan bersikeras untuk menyewa para penyelam profesional dan orang-orang yang ahli dalam pencarian. Dan menempatkan mereka di dekat lokasi kecelakaan pesawat."

"Ibu kita adalah wanita yang pantang menyerah." mau tidak mau Alan akhirnya mengomentari semangat ibunya yang tidak pernah padam.

"Kau benar, dan selama masa pencarian yang panjang tersebut. Mother terus bersikap yakin seolah-olah suatu saat kau memang akan kembali kepada kami. Dan ternyata Mother benar." Peter tersenyum miris saat mengingat betapa gigih ibunya; saat memertahankan regu pencari agar tetap berada di dekat danau tempat pesawat yang ditumpangi Alan mengalami kecelakaan.

"Aku rasa mungkin mereka orang-orang yang membawaku ke sini?" Alan berusaha menebak. Sekalipun ia tidak ingat bagaimana persisnya, tapi samar-samar telinganya mendengar beberapa pria bergumam yang berkata jika laki-laki yang ada di hadapan mereka—Alan—adalah orang yang selama ini dicari.

"Kau benar. Mereka langsung menghubungi Mother saat melihatmu di pinggiran pulau. Awalnya mereka tidak menyangka jika itu adalah dirimu, mengingat dari kejauhan yang terlihat hanya tempurung kura-kura raksasa yang sangat besar."

Tubuh Alan menegang. Lalu ia bertanya dengan hati-hati. "Apakah aku muncul dari dalam air dan berada di atas tempurung kura-kura itu?"

"Bagaimana kau bisa tahu?" Peter tampak terkejut. Lalu wajahnya berubah ceria saat ia menambah. "Ah, aku rasa perawat sudah menceritakan kisah dramatis itu."

Tapi itu tidak benar. Alan tidak pernah mendengarnya dari siapapun, ia hanya menebak sesuai dengan apa yang pernah dialaminya terkahir kali. Ia mengira kebersamaannya bersama Lilian hanyalah mimpi atau bunga tidur saat dirinya tidak sadarkan diri. Tapi semua keyakinan tersebut kini terasa seperti omong kosong, ia merasa seperti pengkhianat yang meninggalkan istrinya dalam bahaya. Dan demi Tuhan Alan mulai merasa asing berada di dunianya yang sekarang. Sementara dunianya bersama Lilian dan para klan di tanah Highland terasa lebih nyata dari perasaan apapun sebelum ia pergi dalam misi berujung maut itu.

***

Selamat sore semuanya. Bang Alan up lagi ya, terima kasih buat yang sudah vote dan terima kasih banyak buat yang udah setia dan nyempati komen juga. Buat yang udah masukin cerita ini ke reading list dan yang baru follow akun aku thank you ya 🙏 😁😘

My Stranger's Love [Squel Of My Stranger's Bride]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang