Selamat malam minggu semuanya hihi. Happy reading semoga suka ya. Oh iya buat yang baru baca, supaya afdol boleh baca My Stranger's Bride terlebih dulu ya. Soalnya ini Side Story-nya. Terima kasih karena sudah vote, komen, masukin cerita ini ke reading list dan sudah follow akun aku. Semoga saat update notif langsung masuk 😁
🦋🦋🦋
"Diamlah, Peter!" untuk pertama kalinya Alan terpaksa meninggikan suara saat bicara dengan adiknya. "Kau belum mendengarkan cerita lengkapnya. Demi Tuhan biarkan Ibu menceritakan semuanya, baru setelah itu kau bisa berkomentar."
"Apa kau berpikir Ayah kita yang menghilang itu kembali dari kematiannya?" Peter jelas beranggapan jika Alan sudah gila, dan ia juga menyisakan sedikit tuduhan untuk ibu mereka.
"Ya!" Alan menjawab dan menatap Peter dengan sorot mata menantang. "Jika kau tidak ingin mendengar cerita lengkapnya, sebaiknya kau keluar dari ruangan ini." setelah mengucapkan kata tersebut, Alan merasa seperti kakak yang brengsek. Tapi ia tidak memiliki pilihan lain, ia menginginkan cerita lengkap mengenai kisah cinta orang tuanya. Serta ingin melindungi perasaan Ibu mereka dari tuduhan—kejam—samar Peter yang tidak beralasan.
"Aku akan tetap tinggal," Peter menjawab sambil merengut. Dan Alan yakin jika adiknya itu pasti menambahkan kata 'meskipun aku harus mendengarkan omong kosong lainnya' di dalam hati.
"Sebaiknya kau diam," Alan memperingatkan. Lalu ia kembali menatap wajah ibu mereka yang terlihat lelah, dan itu bukanlah pemandangan yang biasa bagi sosok Lady Morag. Wanita itu biasanya terlihat segar, ceria dan selalu memberikan penampilan anggun serta tangguh yang sulit ditembus. Tapi kali ini wanita paruh baya itu terlihat menua seperti umurnya. "Tolong ceritakan semuanya, Bu."
Lady Morag untuk sesaat terpaku kala merasakan jari-jari Alan meremas lengannya dengan lembut. "Semuanya tepat seperti yang kau pikirkan, Nak." Ia seolah bisa membaca isi pikiran Alan. "Ayahmu kembali kepadaku, dan aku bersyukur karena selama sepuluh bulan sejak mobil ayahmu ditemukan, itu adalah kemarau panjang sehingga air laut tetap surut dan ayahmu akhirnya datang kepadaku dengan selamat."
"Bagaimana orang dari masa lalu bisa mengendarai mobil?" Peter bertanya sinis.
"Percayalah, Nak," Lady Morag menjawab dengan nada seorang ibu yang sabar menghadapi kenakalan anaknya. "Ia datang tanpa mengetahui banyak hal di dunia ini, satu-satunya keahlian yang Ayah kalian ketahui—dan ia hebat dalam melakukannya," suara wanita itu dipenuhi dengan nada senang dan bangga. "Adalah cara ia memperlakukan dan bisa merayuku dengan sangat baik."
Alan langsung terbahak saat mendengar pengakuan blak-blakan tersebut. Ia tidak kuasa menahan diri saat menyadari; jika ibunya akhirnya terpaksa mengatakan hal tersebut karena jengkel pada Peter yang terus berusaha menyangkal dan setengah menolak untuk mempercayai kisah absurd tersebut.
"Aku rasa kalian memang saling mencintai," Peter memutar mata. "Baiklah anggap saja aku percaya dengan semua cerita konyol ini. Tapi sepertinya aku perlu waktu yang cukup lama untuk mempercayainya."
"Setidaknya ku beruntung, Nak." Lady Morag menatap Peter dengan intens. "Saat Ayahmu kembali dan memutuskan untuk menetap di dunia ini bersamaku, aku bermimpi didatangi seseorang yang mengatakan jika salah satu keturunan kami akan mengalami hal serupa. Dan sepertinya kau beruntung karena orang yang ditakdirkan untuk bepergian seperti Ayah kalian adalah Alan."
Peter mematung sejenak lalu menatap Alan dengan tatapan singkat namun penuh makna. "Aku lelah dan ingin tidur," katanya memberi komentar netral. Lalu ia meninggalkan ruangan dan membiarkan Alan serta Ibunya tetap berada di sana.
"Apa bagian terakhir itu benar, Bu?"
Alan mendapat sebuah anggukan lemah sebagai jawaban. "Maafkan kami, Alan. Aku dan Ayahmu tidak berpikir jika kau akan mengalami kesulitan seperti ini, aku kira siapapun anakku yang mengalami hal seperti ini, aku kira dia akan bahagia jika bertemu dengan wanita yang dicintainya."
"Aku memang bahagia," pengakuan Alan menyingkap sedikit perasaan bersalah di wajah ibunya.
"Benarkah?" Lady Morag seolah membutuhkan lebih banyak pengakuan dari Alan.
"Seperti yang aku ceritakan sebelumnya, Bu. Aku sudah menikah dengan Lilian Campbell—yang sejujurnya aku sendiri masih tidak percaya—apakah itu nyata atau tidak, tapi terlepas dari apa yang aku alami bersama kalian di sini, keadaan seolah berbalik. Aku merasa saat ini malah terasa seperti mimpi, dan seharusnya aku berada di sana; di alam lain bersama Lilian."
"Oh sayangku," Lady Morag mendekat dan membawa tubuh besar Alan ke dalam pelukan. "Aku senang karena kau mencintainya," ia mengusap punggung Alan untuk menenangkan. "Apakah dia juga mencintaimu?" Kerutan khawatir muncul di wajahnya paruh bayanya yang terlihat lelah.
"Ya ibu, dan aku meninggalkan wanita itu dalam bahaya." Alan merasakan sengatan emosi saat kepalanya mengingat dimana posisi Lilian berdiri saat terakhir kali ia melihatnya.
"Aku tidak akan menahanmu," Lady Morag bicara sambil berurai air mata. Tapi nada suaranya terdengar sungguh-sungguh. "Kau bisa melakukan apapun yang kau inginkan, jika kau ingin kembali bersama istrimu. Maka aku akan melepas kepergianmu dengan sukarela."
"Benarkah?" Alan nyaris tidak percaya jika Ibunya baru saja mengijinkan dirinya untuk bepergian.
"Tapi bagaimana jika aku tidak bisa kembali lagi?"
"Saat aku berkata kau boleh pergi, maka saat itu pula aku tidak akan pernah berharap lebih demi kebahagiaanmu."
Untuk pertama kalinya sejak kecelakaan naas itu terjadi, Alan merasakan sengatan bahagia memenuhi dadanya.
"Terima kasih, Bu." Alan langsung mendekap Ibunya dengan sayang.
"Kau boleh pergi kapanpun, karena aku sudah berhasil menemukan Simon dan menjaganya."
"Simon?" Alan terhenyak saat mendengar nama teman baiknya disebut. "Dimana dia sekarang? Apakah dia selamat?"
"Aku rasa dia selamat dan sepertinya dialah yang membawamu untuk bertemu dengan pengantin asingmu itu."
"Apa maksudnya, Bu?" Alan tidak mengerti dengan apa yang ibunya katakan. "Aku hanya ingat datang kesana di atas tempurung kura-kura raksasa. Dan tidak melihat Simon di manapun."
Tapi Lady Morag hanya mengulum senyum lembut saat mendengar penjelasan anaknya tersebut.
"Dia adalah Simon." Katanya sambil terus tersenyum.
"Siapa? Maksudnya kura-kura itu adalah Simon?" Alan nyaris tertawa keras mendengar lelucon konyol tersebut, tapi akhirnya ia berhasil menahan diri saat melihat ibunya hanya terus senyum dan menatapnya dengan tatapan geli. Dan saat itulah Alan sadar jika ibunya tidak sedang bercanda atau menggodanya. "Tapi... tapi bagaimana bisa?"
"Mungkin aku melupakan sesuatu untuk diceritakan," Lady Morag mulai bicara. "Simon adalah teman yang dibawa oleh Ayahmu, dan sepertinya hanya Ayahmu yang pernah melihat laki-laki itu berubah wujud. Meski demikian aku sudah pernah melihat wujud Simon dengan tempurungnya yang sekeras batu itu, jadi aku akan tetap mengenalinya jika ia muncul."
"Ya, Tuhan." Alan nyaris tersungkur saat mendengar informasi tambahan tersebut. Bagaimanapun Simon terlihat seumuran dengannya, dan laki-laki yang sudah ia anggap sebagai teman sejak lama itu memang memiliki banyak rahasia, dan biasanya Simon hanya bersikap santai jika bicara dengan Lady Morag. "Aku rasa ini adalah informasi yang mencengangkan."
Lady Morag tersenyum lembut. "Aku juga tahu jika kau dan Peter pernah beranggapan jika Simon dan aku memiliki hubungan." Alan merasakan wajahnya memerah karena malu. "Kami memang memiliki hubungan, tapi hubungan kami tidak seperti yang kalian pikirkan, Anak-anak."
"Maafkan aku, Bu." Alan berkata sambil tertunduk malu. Dan hal tersebut membuat Lady Morag tertawa senang karena berhasil membuat Alan merasa bersalah.
"Aku akan pergi tidur," katanya sambil menepuk pelan pipi kiri Alan. "Katakan padaku apapun keputusanmu, maka dengan senang hati aku akan menerimanya."
Perkataan ibunya yang sangat berharga tersebut membuat Alan mengangguk mantap. Dan sisa malam itu ia habiskan dengan memikirkan Lilian.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Stranger's Love [Squel Of My Stranger's Bride]
Historical FictionAlan Maclawry tidak mengerti kenapa dirinya kembali ke masa kini-setelah sebelumnya-terlempar ke masa lalu dan menikahi seorang wanita bernama Lilian Campbell di sana. Ia bersyukur karena bisa kembali ke kehidupannya yang normal, tapi ternyata secar...