Selamat malam sabtu, happy reading. Terima kasih buat vote, komen dan juga buat yang sudah follow akun wattpad aku dan masukin cerita ini ke reading list makasih banyak 😊
🦋🦋🦋
"Aku rasa kali ini ilusiku memiliki kemajuan," Alan mendengar suara Lilian yang terbawa angin mencapai pendengarannya, bahkan suara samar tawa serak wanita itu membuat detak jantungnya kian meningkat. Entah apa yang sedang Lilian tertawakan, mungkin bisa saja istri mungilnya itu tengah menertawakan dirinya. Karena saat ini kura-kura raksasa yang ditumpanginya tengah mengapai-gapai dengan sekuat tenaga saat dirinya harus bergerak maju di atas bebatuan. Sementara Alan berusaha menyesuaikan diri dengan berpegangan kedua sisi tempurung dengan sangat keras.
Ia tidak ingin mengambil resiko dengan terjatuh dari tempurung tersebut dan berakhir dengan mengalami retakan di kepala. Ia ingin sampai ke sisi Lilian dengan selamat dan sehat, biarlah sedikit mual dan pusing ikut menyertai, setidaknya ia ingin tetap bisa bersikap rasional dan tidak memiliki luka serius di seluruh tubuh saat harus menghadapi istrinya setelah sekian lama berpisah.
Saat jarak mereka semakin dekat, Alan mendengar Lilian tertawa lepas. Meskipun merasa dirinya tengah diolok-olok, tapi anehnya tawa wanita itu membuat dirinya ikut tersenyum. Lilian selalu memberikan efek luar biasa yang tidak pernah bisa diberikan oleh wanita manapun—kecuali ibunya—dan Lilian memiliki lebih banyak kuasa atas dirinya daripada ia sendiri. Bahkan Lady Morag Maclawry yang sangat Alan cintai dan hormati; tidak pernah bisa mengatur dirinya hingga sedemikian rupa. Dan Alan sangat yakin ia akan lebih menuruti perkataan Lilian, seperti yang dikatakan Lady Morag, sudah saatnya Alan memiliki seseorang yang akan menjaga dan bisa mengendalikan sikap playboy dalam dirinya.
"Aku harap kau tidak jatuh dari sana," komentar Lilian membuat Alan memiliki kekuatan dan mendongak untuk menatap tepat ke dalam mata istrinya. Lalu saat itulah ia menyadari hal yang selama ini tidak ia mengerti, Lilian adalah pusat dunianya. Dan wanita itu memberinya banyak kekuatan untuk memilih kembali ke dunia asing yang sebelumnya terasa mengerikan. Selama Lilian ada di sana bersamanya, Alan bersumpah hatinya sudah mengambil alih kewarasan logis yang selama ini ia miliki—sebelum dirinya terlempar ke masa tersebut. Ia bisa hidup dimanapun; meski dalam hutan dengan gubuk reyot sekalipun.
Selama ia bisa terus bersama Lilian. Maka segala keresahan lainnya menjadi tidak berarti lagi.
Untuk beberapa saat Lilian hanya terus menatapnya, seolah tidak percaya dengan apa yang tengah dilihatnya saat ini. Setelah kebisuan yang terasa sangat menyiksa tersebut, hati Alan terasa seperti diremas saat melihat Lilian mulai menangis, air mata sialan itu membasahi wajah istrinya yang jauh lebih tirus sejak terakhir kali mereka bertemu.
Alan menunggu dengan sabar, berharap Lilian akan kembali menatapnya dengan tangisan yang sudah mereda. Tapi setelah beberapa saat berlalu, telinganya hanya disambut oleh isak tangis menyayat hati. Bahkan Alan bisa melihat jika tubuh wanita mungil itu gemetar, dan demi segala yang ada di dunia, menyaksikan Lilian terisak seperti itu adalah hal yang tidak pernah ingin Alan bayangkan. Ia mencintai wanita itu, dan tidak menginginkan sedikitpun rasa pedih menyentuh perasaan istrinya.
"Peri kecilku yang malang." Alan bergumam dengan perasaan terluka. Tapi Lilian masih menunduk dan tidak mendongak seperti yang ia harapkan.
"Aku bahkan bisa mendengar suaranya," Lilian tertawa masam sambil terus menunduk dan menyelipkan wajah di antara kedua lututnya. "Aku pasti sudah gila," Alan mendengar Lilian bicara pada diri sendiri saat ia mendengar seseorang memanggil namanya.
"Lilian, sayangku, manisku."
Alan mengulurkan tangan dan menyentuhkan telapak tangan ke pundak Lilian, gerakan tersebut membuat Lilian tersentak dan nyaris jatuh telentang sementara sorot matanya berubah kosong saat mendongak dan menatapnya.
"Apa kau baik-baik saja?" Alan bertanya dengan khawatir. Demi Tuhan ia bersumpah dalam hati akan memenggal semua petarung yang sudah membiarkan istrinya berkeliaran seorang diri seperti itu. "Apa yang sedang kau lakukan di sini sendirian?" Ia lanjut bertanya dengan nada menuntut. Alan merasa akan gila hanya dengan memikirkan Lilian berkeliaran seorang diri tanpa ditemani oleh siapapun. Sekalipun lokasi tersebut berada tidak jauh dari gerbang klan, tapi tetap saja rasa khawatir dalam dadanya tidak mau mereda.
"Pergi." Lilian menjawab sambil mengibaskan tangan. "Aku mohon pergi!" Katanya sambil terus membuat gerakan menyuruh pergi dengan tangannya yang semakin kurus. Istri mungilnya itu telah kehilangan banyak berat badan, dan Alan merasa sangat menyesal karena menunggu terlalu lama untuk kembali. Ia tidak dapat memikirkan alasan lain kenapa Lilian terlihat jauh lebih kurus daripada yang diingatnya. Selain pengantin kecilnya itu berduka atas kepergiannya yang tiba-tiba.
"Maafkan aku karena datang terlambat," Alan berkata dengan nada menyesal. Dan ia menatap lekat istrinya sambil terus berharap jika Lilian akan percaya bahwa dirinya adalah sosok nyata.
Tapi Lilian terus membantu dan menatapnya hingga beberapa saat. "Aku pasti sudah gila," lalu wanita mungil itu menertawakan diri sendiri saat Alan yang sejak tadi berjongkok di sampingnya semakin mengikis jarak diantara mereka. "Aku pasti sudah gila."
"Kenapa kau berpikir dirimu gila, manisku?" Alan bertanya pelan, sementara sorot matanya terlihat khawatir, secara naluriah tangannya terulur untuk menyelipkan anak rambut yang jatuh dan menutupi bagian samping wajah Lilian. Dan Alan bersyukur karena Lilian tidak mendorongnya menjauh saat ia melakukan hal tersebut.
"Suamiku sudah meninggal," bisikan lembut Lilian mencapai pendengaran Alan. Sementara matanya yang sembab terus menatap wajah Alan dengan tatapan yang tidak asing.
Itu tatapan rindu. Dan Alan mengenali tatapan pedih penuh kerinduan itu, karena ia juga merasakan hal yang sama untuk Lilian.
"Tapi kalian tidak menemukan jasadnya bukan?"
Pertanyaan tersebut membuat Lilian duduk dalam posisi tegak. Pikirannya mulai tidak menentu, dan dengan sangat perlahan ia mulai mengulurkan tangan, berhenti sejenak saat jarinya hanya tersisa beberapa centi di hadapan wajah Alan.
"Kau bisa menyentuhku di manapun, Sayangku," Alan membawa telapak tangan Lilian untuk menyentuh dan meletakan jari-jari mungil tersebut ke pipinya. Tanpa diduga wajah Lilian berubah terkejut sambil diiringi kesiap, lalu detik berikutnya Lilian meledak dalam tangisan yang tidak dapat dibendung. Wanita mungil itu memeluknya dengan sangat kencang seolah takut; jika dirinya akan menguap seperti debu yang tertiup angin.
Alan membiarkan Lilian meluapkan semua emosinya, ia akan membiarkan istrinya menangis untuk saat ini. Tapi setelah semua ini berlalu, Alan bersumpah tidak akan pernah membuat dirinya—atau siapapun—membuat Lilian kembali menangis dengan sengaja. Ia membelai punggung wanita itu dengan sayang sambil mengucapkan kata-kata penghiburan. Berharap jika tangisan memilukan tersebut akan segera mereda.
"Aku kembali sayang. Aku sudah kembali." Alan merasa sangat bersalah karena sudah membuat wanita mungil itu menderita. "Maaf karena aku membutuhkan waktu lama untuk kembali."
Lilian tidak mendengar semua permintaan Alan dengan baik, ia terlalu sibuk dengan perasaannya sendiri. Suaminya ternyata selamat, dan kembali dalam keadaan sehat. Dan kini laki-laki itu sudah berada dalam pelukannya. Sekalipun kenyataan tersebut masih terasa seperti mimpi, setidaknya Lilian ingin membiarkan dirinya percaya jika dirinya memang tengah berada dalam dekapan Alan.
🦋🦋🦋
KAMU SEDANG MEMBACA
My Stranger's Love [Squel Of My Stranger's Bride]
Historical FictionAlan Maclawry tidak mengerti kenapa dirinya kembali ke masa kini-setelah sebelumnya-terlempar ke masa lalu dan menikahi seorang wanita bernama Lilian Campbell di sana. Ia bersyukur karena bisa kembali ke kehidupannya yang normal, tapi ternyata secar...