Alan membawa Lilian masuk ke kamar—yang terakhir kali—adalah kamarnya. Namun saat ini beberapa interior di ruangan tersebut sudah mengalami beberapa perubahan. Tadi malam ia dipaksa untuk tidur di bawah pengawasan para petarung, dan ia tidak memiliki pilihan lain selain menuruti keinginan mereka. Atau dirinya dilempar keluar dari kastel dan tidak bisa bertemu lagi dengan istirnya. Dan lucunya entah apa yang menahan Arnold dan Peter sehingga muncul pada pagi hari; nyaris berdekatan dengan waktu kedatangan Marcus.
"Ada apa?" Lilian bertanya waspada. Sejak tadi ia sudah melihat Alan gelisah, suaminya pasti ingin menanyakan sesuatu kepadanya. "Apa kau baik-baik saja?" Ia sudah melangkah dan ingin mendekat, tapi—entah Alan sadari atau tidak—laki-laki itu bergerak ke arah berbeda sambil mengurut pelipis dan memasang wajah serius.
Alan terus berjalan mondar mandir sambil sesekali melirik ke arahnya. Melihat suaminya gelisah seperti itu dan tidak menjawab pertanyaan yang ia ajukan, Lilian memutuskan untuk diam dan menunggu. Menunggu sampai Alan mau bercerita dan mengatakan hal apapun yang sudah mengganggu perasaan suaminya itu. Tapi setelah lima belas menit yang terasa sangat melelahkan, akhirnya Lilian menyerah dan memilih untuk menjadi orang yang akhirnya bicara untuk pertama kali.
"Demi Tuhan, Laird. Ada apa?" Lilian sudah berjalan mendekat dan menyentuh lengan Alan agar berhenti mondar mandir di hadapannya.
"Apa—"
"Ya ada apa?" Lilian berkata dengan suara membujuk saat Alan hanya menatapnya tanpa melanjutkan.
"Apa kau—"
"Ya?" Ia berusaha untuk menyemangati saat Alan kembali tersendat. "Aku kenapa?"
"Apa kau..., sialan!" Alan memalingkan wajah dan mengepalkan kedua lengan di sisi tubuh. Ia tidak sanggup untuk bicara lebih banyak, kehancuran dalam hatinya telah membuat ia bisu di hadapan Lilian.
"Ada apa?" Lilian berusaha untuk membawa Alan berbalik dan menghadapnya. Tapi laki-laki itu tetap. Bergeming, dan ia terlalu ringkih untuk melakukan pemaksaan pada suaminya yang baru kembali—dari kematian ajaib itu.
"Apa kau tidak akan bicara padaku?" Tanya Lilian saat Alan tetap menolak untuk menatapnya. "Jika memang ada sesuatu yang terjadi, atau hal apapun yang membuatmu marah. Setidaknya kau bisa mengatakannya padaku!" Ia masih berusaha sabar meskipun kekesalan dalam hatinya mulai berkumpul dan secara perlahan menjadi besar.
"Aku tidak bisa mengatakannya padamu!" Kata Alan sambil terus membelakangi.
"Kenapa?" Lilian tidak tahu jika melihat punggung suaminya yang sedang merajuk adalah hal yang mengesalkan. "Kenapa kau tidak bisa mengatakannya padaku? Apa hal yang membuatmu bersikap seperti ini ada hubungannya denganku?"
"Ya." Jawab Alan singkat.
"Dan apa tepatnya itu?"
"Demi Tuhan, Lilie!" Lilian melihat Alan meraup wajah dengan kedua tangannya. Suara laki-laki terdengar sangat tersiksa, bahkan setiap helaan napas yang diambil Alan membuat bahu lebarnya bergerak dengan irama—yang Lilian pahami—suaminya tengah menghela napas berat.
"Katakan padaku, Alan," Lilian berkata dengan nada yang lebih lembut. "Kau bisa mengatakan apapun jika memang aku sudah membuat kesalahan."
"Aku tidak bisa," Alan tetap teguh pada pendiriannya. Lalu tanpa diduga Alan langsung berbalik dengan wajah terperangah saat mendengar Lilian melontarkan berbagai umpatan yang bisa membuat biarawati merona. "Ya Tuhan, darimana kau memperlajari semua kata-kata kasar itu?"
"Kau tidak perlu tahu darimana aku mendengarnya," Lilian melipat kedua tangan di depan dada dengan sikap menantang. "Kenapa aku harus memberitahumu, sementara kau sendiri tidak memiliki niatan untuk terbuka padaku?"
"Sialan," akhirnya Alan ikut mengumpat.
"Ya kau memang sialan," Lilian seolah sengaja ingin mengolok-oloknya.
"Bukan itu maksudku!" Jawab Alan cepat. "Demi Tuhan, Lilie. Apa yang sudah kau lakukan selama aku tidak ada? Apa ada seseorang yang mendekatimu?" Pertanyaan tersebut terlontar begitu saja dari mulutnya.
"Apa maksud perkataanmu itu, Laird?" Lilian menurunkan tangan dan menatap Alan waspada.
"Jawab saja pertanyaanku."
"Jawaban seperti apa yang harus kuberikan?" Lilian menatap tepat ke dalam mata biru memesona milik suaminya. "Jika aku sendiri tidak mengerti dengan pertanyaan tersebut."
"Apa kau sungguh ingin aku menanyakan semuanya dengan jelas?" Alan merasa jengkel sekaligus emosi. Demi Tuhan sejak tadi hatinya terus terasa seperti diiris oleh belati yang sangat tajam. Membayangkan Lilian berada di ranjang bersama laki-laki lain; itu sudah cukup untuk membuat semua saraf di dalam tubuhnya terasa nyeri karena amarah.
"Ya," Lilian menjawab lugas. "Katakan pertanyaanmu dengan jelas, Laird."
Alan melontarkan beberapa sumpah serapah, sebelum akhirnya ia menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Lalu menatap wajah Lilian dengan tatapan terluka saat ia bertanya.
"Apa kau tidur dengan laki-laki lain, Lilie?"
🦋🦋🦋
Selama hari libur, bang Alan update lagi ya. Oh iya kemungkinan besar judulnya nanti akan ganti jadi My Stranger's Love supaya nggak ketuker sama buku sebelumnya. Happy reading semoga suka ya 😊
KAMU SEDANG MEMBACA
My Stranger's Love [Squel Of My Stranger's Bride]
Historical FictionAlan Maclawry tidak mengerti kenapa dirinya kembali ke masa kini-setelah sebelumnya-terlempar ke masa lalu dan menikahi seorang wanita bernama Lilian Campbell di sana. Ia bersyukur karena bisa kembali ke kehidupannya yang normal, tapi ternyata secar...