Note : Disarankan membaca My Stranger's Bride terlebih dulu. Ada link ceritanya tersendiri, dan jika ada yang mau beli Hard copy masih bisa dipesan, versi ebooknya tersedia di playstore juga 😊
🦋🦋🦋
Seruan tidak percaya memenuhi pendengaran Alan, ia kembali ke kastel sambil membawa Lilian yang sempat pingsan dalam pelukannya. Wanita itu terlalu banyak menangis—dan mungkin—sangat terkejut atas kedatangannya yang tiba-tiba. Well, Alan cukup paham bagaimana perasaan Lilian, melihat orang yang telah dianggap mati dan hidup kembali bukanlah perkara mudah. Hal tersebut bukanlah hal remeh yang bisa dihadapi tanpa menbulkan kekalutan dalam pikiran.
Setidaknya saat ini Lilian sudah kembali sadar dan mereka tengah dikelilingi oleh semua orang yang berada di bawah lindungan klan Maclawry. Semua kesiap tidak percaya telah berubah menjadi seruan penyambutan. Semua orang bersorak setelah mengkonfirmasi pada Lilian apakah benar laki-laki yang datang bersamanya adalah sang Laird. Semua penduduk klan menerima kedatangan Alan dengan suka cita tanpa membutuhkan waktu lama.
Tapi hal tersebut tidak berlaku untuk para petarung, sekalipun Alan melihat mereka semua—percaya jika yang berdiri saat ini—adalah Laird Maclawry. Tapi para petarung bersikeras untuk memanggil Peter serta Marcus dan Arnold untuk memeriksa dirinya lebih jauh. Begitu mereka sampai di kastel, Lilian langsung dijauhkan dari dirinya. Membuat tatapan wanita itu kembali buram oleh air mata.
"Aku tidak akan pergi," janji Alan saat melihat Lilian yang menolak untuk dibawa pergi oleh para pelayan.
"Aku tidak percaya itu," komentar Lilian sambil menatapnya dengan pandangan marah dengan pipi yang mulai basah. "Kau meninggalkanku saat terakhir kali kita bertemu."
Balasan Lilian membuat Alan mau tidak mau memaksakan diri untuk tertawa masam. Meskipun ia sendiri mendengar tawanya terdengar mengerikan. Sekuat apapun ia berusaha menutupi rasa nyeri di dalam dadanya, kenyataan dalam ucapan Lilian tetap membuat hatinya berdarah.
"Aku berjanji, aku akan tetap di sini." Alan berusaha menenangkan. "Kau bisa meminta semua petarung agar tetap di sini dan mejagaku." Ia sudah akan mengulurkan tangan dan menyentuh istrinya, tapi tatapan para petarung tampak mengancam. Mereka melindungi wanita mungil itu dengan sangat baik.
"Jika kalian akan bersikap seperti ini kepadaku," Alan bergumam pelan sambil menatap langit-langit untuk menyembunyikan kekesalannya. "Seharusnya kalian tidak membiarkan istriku berkeliaran seorang diri."
"Kami sudah melarangnya!" Salah seorang petarung mendengar gerutuan Alan.
"Tapi aku tidak melihat siapapun pergi untuk mengawalnya," balas Alan dingin.
"Kami—" salah seorang petarung sudah akan menjawab, namun ditahan oleh petarung lain dengan cara menahan lengannya. Bahasa isyarat tersebut membuat pembelaan apapun—mengenai ketiadaan seseorang untuk mengawal Lilian—kembali teredam.
"Itu bukan salah mereka," Lilian menjawab dari seberang ruangan. Ia masih duduk di atas kursi mahoni yang terlihat sudah tua, namun benda tersebut masih tampak kokoh dan kuat. Dan tentunya ia dikelilingi oleh para wanita dan beberapa petarung. "Semua itu adalah salahku, aku tidak pernah mengijinkan siapapun untuk menemaniku berpegian." Air mata sialan itu untungnya sudah dibersihkan.
Alan melirik Lilian dengan tatapan tidak senang, mengirimkan kata tidak terucap sebagai teguran. Dan ia dibalas dengan tatapan memohon di mata istrinya, wanita itu seolah tidak rela jika orang-orang Alan—yang kini sepertinya sudah menjadi abdi setia Lilian—mendapat teguran keras darinya.
"Kita akan membahas hal ini lagi," janji Alan dengan suara berat, sementara tatapannya masih mengunci wajah istrinya. "Nanti." Katanya dengan penuh tekad. Sementara suaranya terdengar tegas dan mengancam, Lilian hanya mampu mengangguk samar sambil mendesah lega. Setidaknya Alan tidak akan membuat kekacauan. Tidak ketika sebagian orang masih meragukan identitasnya.
"Tidak akan ada kata 'nanti' jika kau ternyata terbukti bukan Laird kami yang sesungguhnya." Komentar salah satu petarung.
"Tentu saja akan ada nanti, dan seterusnya." Jawab Alan jengkel.
Sebelum para petarung dan Alan terlibat percekcokan lebih jauh, tubuh ringkih Nora yang baru memasuki ruangan sambil dipapah dua orang pelayan membuat semua mulut terkunci rapat. Wanita itu berdiri sejenak di ambang pintu, pandangannya menyapu sekitar, dan ketika ia sudah menemukan sosok Alan, Nora langsung mendekat dengan tergesa lalu menyentuh lengan Alan dengan sentuhan khas keibuan miliknya.
"Oh, Laird. Terima kasih karena sudah kembali," Nora berkata sambil menahan isak tangis yang nyaris meledak. "Terima kasih karena sudah memilih untuk kembali ke sini."
"Tentu saja aku akan kembali," Alan berusaha menenangkan. Tapi baru beberapa detik ucapan tersebut terlontar, tubuh Nora berubah tegang dan ia bertanya dengan hati-hati.
"Apa kau akan membawa sang Lady pergi?"
Pertanyaan tersebut disambut suara kesiap dan rentetan pertanyaan menuntut dari semua orang.
"Tenang!" Alan terpaksa meninggikan suaranya. Dan baru melanjutkan setelah suasana kembali hening, ia sempat melirik para petarung yang terlihat tidak suka saat ia bersikap seperti Laird mereka, padahal dirinya masih membutuhkan konfirmasi dari Peter dan juga Arnold. "Aku tidak tahu apa yang kau pikirkan Nora, tapi karena aku sudah ada di sini. Jadi aku sudah memutuskan untuk tetap tinggal bersama istriku," ia bersungguh-sungguh. "Dan bersama kalian semua."
"Oh. Terima kasih Tuhan," tubuh Nora yang sejak tadi tegang langsung berubah rileks. Ia bahkan langsung duduk bersimpuh di atas lantai karena merasa lega sekaligus lelah karena sudah sakit selama berminggu-minggu terakhir. Dan ia hidup dengan belas kasih serta perhatian Lilian, Lady Maclawry memerintahkan seseorang untuk merawatnya setiap hari.
"Nora," Lilian sudah berada di sampingnya. "Sebaiknya kau beristirahat. Kami akan tetap berjaga di sini untuk memastikan; agar Laird Maclawry tidak kabur."
Alan tertawa masa mendengar kata-kata istrinya tersebut. "Memangnya aku akan melarikan diri kemana?"
"Kami tidak mau mengambil resiko," jawab Lilian sengit. Dan sikap membangkang wanita mungil itu selalu berhasil membuat senyum Alan mengembang.
"Tapi kau kan sudah memercayaiku," Alan berkomentar santai.
"Tapi aku belum memberi persetujuan kepada semua anggota klan jika Kau," dengan berani Lilian menatap Alan dengan sikap menantang. "Adalah benar-benar Laird Maclawry."
"Tapi kita sudah—" Alan melirik sekitar saat teringat masih banyak petarung yang belum mempercayai ia sepenuhnya. Jadi yang ia lakukan selanjutnya adalah meminta Lilian agar mendekat, dan membisikan sesuatu yang membuat wajah wanita itu langsung merona.
"Jangan coba-coba mengarang sesuatu!" Bentak Lilian marah. Tapi Alan hanya mengedikan bahu dengan acuh sebagai jawaban. "Kau—" ia kehabisan kata-kata, dan entah mengapa dirinya tidak sanggup untuk mengutuk lebih banyak atas sikap lancang laki-laki yang ia anggap sebagai suaminya itu.
Pada akhirnya Lilian memaksakan diri untuk mengalah, memerintahkan Pelayan agar membawa Nora kembali ke kamarnya. Dan memastikan para pelayan yang harus berkerja kembali ke rutinitas mereka masing-masing. Dan hal terakhir yang dapat ia lakukan pada sosok suaminya yang baru muncul—entah dari mana—hanyalah memandangi wajah tampan, hidung mancung, bibir memesona serta garis rahang tegas yang sesuai dengan mata biru dan juga rambut pirang itu dengan seksama.
Oh, Alan. Terima kasih karena sudah kembali ke dalam hidupku.
To be continued....
🦋🦋😊🦋🦋
Thank you for vote, coment, and follow my wattpad account 😘
KAMU SEDANG MEMBACA
My Stranger's Love [Squel Of My Stranger's Bride]
Historische fictieAlan Maclawry tidak mengerti kenapa dirinya kembali ke masa kini-setelah sebelumnya-terlempar ke masa lalu dan menikahi seorang wanita bernama Lilian Campbell di sana. Ia bersyukur karena bisa kembali ke kehidupannya yang normal, tapi ternyata secar...