Tokyo mungkin tidak dituruni salju natal ini, tapi dinginnya tidak mengkhianati. Malam itu, di tengah hangatnya malam natal di pusat kota, Naruto mendamba sentuhan lembut dari orangtuanya. Nyatanya sosok yang menjanjikan makan malam keluarga di suatu restoran hanyalah bualan. Ayahnya absen karena ia harus menghadiri satu acara bisnisnya, sedang ibunya lenyap tanpa ada informasi apapun.
Kemana sosok hangat itu? tanyanya pada diri sendiri.
Mereka yang berlalu lalang mengejeknya dengan sadis. Naruto duduk di dekat pohon natal besar seperti patung pajangan. Sendirian seperti orang bodoh. Dan menangis tanpa suara seperti bocah. Ia berharap tak ada yang menyadari bahwa air matanya meleleh dan hidungnya memerah. Mau taruh dimana wajahnya kelak?
Hingga sebungkus tissue berlabel tempat karaoke tersodor di depan wajahnya yang merunduk dalam. Refleks ia menunjukkan wajahnya yang terhiasi derai air mata. Terlihat sosok anak laki-laki, mungkin seusianya sedang berdiri menatapnya diam.
"Kami sedang melakukan promosi malam natal hingga tahun baru. Datanglah berkunjung" katanya dengan suara yang serak. Mungkin ia sedang sakit tenggorokkan tapi ia tetap berada di luar ruangan.
Sambil menahan ingus, tangan gemetarnya menerima sodoran tissue dengan label karaoke tersebut. Ia hendak mengucapkan terima kasih, tapi pemuda itu telah sibuk membagikan tissue gratisan kepada pejalan kaki lain sambil diselipi promosinya.
Sepertinya Naruto tak perlu mengusap air matanya dengan lengan jaketnya. Tissue gratisan ini menyelamatkannya, atau pemuda itu yang menyelamatkannya?
.
.
.
.
.
.
Bagian 2.
Siang itu Naruto keluar dari pintu belakang sebuah bar yang langsung berhubungan dengan basement bar yang dikenal Moonlight. Dengan wajah yang tertekuk, ia melangkah gontai melewati beberapa mobil mewah yang terparkir di sana. Hingga suara desahan wanita dan tubrukkan body mobil membuat matanya membola.
Berjarak tiga mobil dari arahnya ada seorang eksekutif yang sibuk mencumbu seorang wanita bayaran. Naruto sering melihatnya karena wanita itu memang kerap ia lihat hampir setiap malam hingga pagi di dalam bar.
Dan soal eksekutif itu, ia bisa langsung mengenalinya tanpa berpikir dua kali.
"Wah, wah, wah ... apa yang aku temukan" katanya dengan nada yang mencemooh, tangannya terlipat di dada. "sayang aku tidak membawa perekamku" tambahnya dengan berdecak lidah. Ia mendelik.
Sadar ada yang memergoki, eksekutif berjas itu atau Naruto menyebutnya Sasuke Uchiha mendorong bahu si wanita sehingga tubuh mereka berjauhan. Ia terkejut dengan apa yang dilihatnya sementara si wanita bayaran berekspresi jengah melihat Naruto.
"Kau, pergilah .." perintah Sasuke dingin. Pria itu mengusap belahan bibirnya yang memerah dan basah. Naruto melihatnya dengan kerling mengejek yang selalu mendapat kutukan dari pria itu setiap wajah angkuh Naruto terbayang di pikirannya.
Wanita bayaran itu merengut tak suka dengan gayanya yang sensual. Naruto masih mematai keduanya dengan alis kanannya yang naik begitu si wanita merangkul lengan Sasuke. "Tuan Uchiha tidak bisa. Aku sedang high"
Terdengar seperti desahan. Naruto mendengus keras dengan sengaja "Menjijikan"
"Kau pikir aku peduli? Pergi!" Culasnya keras seperti guntur, tingkat kekesalan pria itu semakin naik. Ia tak memperdulikan bagaimana ia berbicara, karena matanya sibuk melubangi isi kepala Naruto. Wanita pirang itu terkekeh pelan dengan jari yang melambai begitu si wanita bayaran pergi melewatinya.
YOU ARE READING
G O L D
Fanfiction[FANFICTION] Label dunia dari Naruto adalah arogansi. Seolah telah menjadi kalung rantai untuk ia miliki. Sasuke tak salah menilainya. Sasuke hanya ingin menepati janji pada Ino, tanpa sadar ia malah menceburkan dirinya dalam kehidupan Naruto yang...