G O L D, i'm not a stigma, save me.
Bagian 11.
“Bisa biarkan aku berbicara dengan kakakmu?”Nagato tak memiliki banyak pertimbangan. Ia mengangguki permintaan Sasuke ringan seperti tiupan angin pada bulu angsa.
Setiap langkah kaki yang ia ambil telah membumbungkan banyak kekacauan didalam kepalanya. Dalam setiap milimeter langkahnya ia memeta apik bagaimana figur Naruto tercipta. Tampak samping, ia seperti pahatan boneka. Namun mati terdiam, tak bernapas. Selalu ada keputusan masai untuk ia akui, namun langkah mundur bukanlah langkah yang selanjutnya.
“Uchiha ...” namanya diucapkan dengan nada konfrotansi yang hingga kini membuatnya tremor. Namun untuk kali ini, gemetar yang ia rasakan tak mendidihkan darah di nadinya.
Sasuke menarik kursi besi hingga gesekkannya memecah hening. Memecah dinding dimana Naruto bersembunyi. Menilik diam-diam bagaimana rupa asli dari sosok wanita yang acap kali ia katai gila.
“Melihat aku yang seperti ini kau senang?” nada bicaranya terdengar sengit, meskipun mimiknya tak beriak. Sasuke selalu dan tak pernah terbiasa dengan pola penilaian Naruto. Wanita yang hidup sebegini susahnya pun, masih terlalu arogan untuk mengakui kelemahannya. Ia terheran, sebaik ini ia mengenal wanita Naruto.
“Kalau itulah yang ada dipikiranmu. Anggap saja itulah kenyataannya” katanya gamblang. Terlalu lelah menciptakan citra.
“Kau tahu tentang ... aku?”
“Kurang lebih”
Ada kebas yang meremat dadanya saat asa dan harga diri Naruto merosot tanpa perlawanan. Ini sosok Naruto yang paling menyedihkan dari sepanjang ingatannya. Keanomaliannya terlah menjadi bayang semu tanpa embel Namikaze yang membuatnya tinggi. Kali ini hanya Naruto.
“Kita buat ini jadi mudah saja” ujarnya menarik simpul. Ia memperbaiki duduknya menjadi lebih tegap, menjadi lebih komersil saat wanita itu menoleh kepadanya.
“Kau tahu aku mencariku kemana-mana?”
“Tahu”
“Ha? Kenapa kau tidak―” kemudian Sasuke mengambil jeda sembari menahan napas. Mengacak rambutnya frustasi, juga menahan kesal begitu Naruto memandanginya teramat santai. Teringat pada hari kacaunya hanya untuk mencari hidung wanita ini, “―lupakan saja!”
“Dengar, aku mencarimu untuk menyeretmu ke pernikahan Ino. Ia ingin kau ada disana!”
“Dia tidak bilang aku tak ingin datang?”
“Sudah. Tapi aku ingin kau tahu sesuatu,”
Ada kerdipan lambat saat Naruto merasa Sasuke menggantungkan kalimatnya. Tak berlisan, tapi dari matanya Sasuke tahu Naruto penasaran dengan kalimat yang selanjutnya. Selanjutnya Sasuke berandai, bisakah ia menceritakannya sementara ini akan jadi cerita yang panjang.
“Aku melanjutkan kuliah tahun ke-duaku di kampus yang sama dengan Ino. Lingkungan luar negeri tak cocok untukku yang begitu mencintai negara sendiri”
Naruto mendengus remeh, “aku tidak ingin tahu”
“Baiklah ini poin pentingnya” sahut Sasuke sembari menahan gemeletuk di giginya. Begitu mudah baginya tersulut emosi meski hanya berbicara dengan Naruto. “Yamanaka Ino diasingkan di lingkungan kampusnya. Bagaimana bisa calon penegak hukum adalah seorang pembully semasa SMA. Ia kesepian dan tak mendapat seorang temanpun. Kenangan persahabatan yang dimilikinya hanya denganmu, dan ...”
“Dan kau sedang menyalahkanku sekarang? Jika aku tidak pernah mengajak Ino untuk mengganggu siswa lain ia tak akan diasingkan di kampusnya, benar?” pertanyaannya terlontar jumawa. Menyulut kesabaran si pria yang sumbunya telah memendek.
YOU ARE READING
G O L D
Fanfiction[FANFICTION] Label dunia dari Naruto adalah arogansi. Seolah telah menjadi kalung rantai untuk ia miliki. Sasuke tak salah menilainya. Sasuke hanya ingin menepati janji pada Ino, tanpa sadar ia malah menceburkan dirinya dalam kehidupan Naruto yang...